bab 20 [luka itu tak akan pernah mengering]

265 29 1
                                    

Yang paling menakutkan adalah disaat kamu merasa terlambat dengan sesuatu yang memang sudah terlambat, yang menakutkan adalah ketika kamu merasa tidak mempunyai kesempatan disaat kamu sudah melewati kesempatan terakhirmu.

.
.
.
.
.
.
.

Yang sudah gagal akan selalu gagal jika tak pernah berubah, namun yang gagal akan bisa berubah saat berusaha ikut dalam perjalanannya.
_______________________________

Terlambat, satu kata yang sangat diperuntukkan untuk tiga manusia yang menyandang peran sebagai keluarga. Hendra berdiri di depan pintu ruangan bian, tangan kanannya menggenggam tangan sang istri, sosok lita, ibu dari bian juga sama sama berdiri dihadapan ruangan sang putra.

Putra ya? Akankah selama ini keberadaannya bisa disebut sebagai seorang putra? Putra yang tak pernah ia lihat, putra yang tak pernah ia berikan kasih sayang.

"Bian di dalam?" tanyanya, lita melirik ke arah sang suami, hubungannya masih sangatlah asing, perasaan benci juga masih bersemayam. Namun mendengar putra bungsunya dilarikan ke rumah sakit, entah kenapa membuat perasaan berkecamuk dengan hebatnya.

"Kita coba masuk?" Hendra tak jauh beda, rasa cintanya pada sang istri belum memunculkan perkembangan. Hendra sudah tidak dituntut oleh orang tuanya, mungkin ia bisa memperbaiki keluarganya bukan?

Semuanya bisa di perbaiki bukan? Namun akan semuanya benar benar bisa di perbaiki?

Dua sosok itu masihlah berdiam diri bak patung, rasanya begitu berat untuk melangkah, ia tak bisa memulai pijakan untuk langkah selanjutnya.

"Kita pulang aja ya?" lirihnya pelan, ia ingin menyerah, menyerah untuk melihat putra bungsunya. Perasaan berselimut rasa takut, perasaan gelisah, juga ia sangat takut mendengarkan kata penolakan.

Lalu bagaimana kabar bian, yang selama ini hidup dengan penolakan? Orang orang sekitarnya menolaknya berada didunia, seakan hadirnya didunia ini hanyalah pelengkap umat manusia.

Hendra juga sama ragunya, waktunya seakan tak tepat, sebenarnya bukan tak tepat, namun memang waktunya yang sudah habis. "Kita masih mempunyai waktu?"

Kedua manusia itu mulai melangkah mundur, menjauh dari ruangan yang sangat ingin didekati. "Hubungan kita masih hancur," lirih lita, ia juga merasa takut pada sang suami. Trauma yang hendra berikan belumlah sembuh sepenuhnya, bahkan tidak bisa dikatakan sembuh, luka itu masih sangatlah basah.

Hendra gagal, ia gagal untuk semuanya, gagal menjadi kepala keluarga, gagal menjadi suami, gagal menjadi seorang ayah.

"Kita pisah aja ya?" pintanya memohon, melepaskan untuk sembuh mungkin adalah jalan yang terbaik, dari pada melanjutkan dengan sama sama saling menikam dengan rasa sakit. "Saya mau, kita cerai," empat kata itu tercelos begitu saja, lita sedikit menjadi gagap, untuk percakapan yang sedang berlangsung, pembicaraan formal selalu menjadi percakapan antara ia dan sang suami.

"Saya ga mau, bukannya saya sudah ceritakan alasan saya melakukan itu?" Pembicaraan yang terkesan sangat kaku itu, terdengar seperti rekan kerja dari pada sepasangan suami istri.

"Alasan itu ga cukup, ga cukup untuk menebus luka yang kamu tuai hen, saya takut, saya sakit, hidup dengan kamu hanya membuat saya semakin tersiksa, saya juga yakin bian sama tersiksanya. Saya tersiksa oleh kamu, tapi bian tersiksa oleh semuanya," lirihnya, air matanya mengalir dengan sendirinya. Memori bersama bian cukup membuat pernafasannya terhimpit oleh sesuatu, tak pernah ada momen indah antara ibu dan anak.

Anaknya, putra bungsunya, tak memiliki siapa siapa untuk sekedar bersandar.

"Hidup seperti biasa aja ya hen? Hidup layaknya orang asing seperti biasa? Kamu sibuk dengan semua pekerjaan kamu, dan saya sibuk dengan hidup saya sendiri, tenang aja hen, saya ga akan selingkuh lagi, saya butuh waktu. Kalau tiba tiba gini rasanya malah aneh." Setelah itu lita pergi meninggalkan hendra, tanpa menunggu balasan dari sang suami. Hendra hanya terdiam, ia mencerna semua perkataan sang istri.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang