bab 13 [lagi lagi tumbang]

296 33 0
                                    

rumah yang nyatanya menjadi tempat berteduh, nyatanya menjadi ketakutan terbesar untuk di pijaki
.
.
.
.
.

Nyatanya menulis tak semudah itu ya? Bian kini terbaring dengan pikiran rumitnya di atas ranjang. Setelah selesai melaksanakan sholat magrib, bian berniat untuk menulis sebuah rangkaian bab awal untuk ceritanya, namun bermenit-menit ia menatap laptop didepannya, tak menghasilkan satu kata pun. Hingga akhirnya, bian lebih memilih untuk berbaring di ranjangnya.

"Ternyata kerumitan ini, susah banget untuk disuarakan, ngomong ga bisa nulis juga ga bisa, apa ga ada gitu yang bisa tau perasaan gue, pake telepati?"

Padahal hari ini begitu banyak kejadian yang terjadi, bian melewati harinya dengan begitu banyak kejadian.

Kembali lagi, pada pagi tadi. Bian merasakan apa itu lengkap, entah apa yang terjadi, abangnya ada dirumah, ada sang papah, juga ditambah sang mama. Sarapan pagi dimeja makan rumah itu lengkap dengan semua keluarga yang berkumpul, namun lengkap itu hanya formalitas, nyatanya walaupun terlihat lengkap tapi rasanya tak utuh.

Suara dentingan sendok yang hanya terdengar, di meja makan tersebut, suasana itu benar benar jauh dari kehangatan, malah bukan suasana kehangatan yang didapatkan, suasana saat ini malah terkesan horor.

Suasana yang terkesan horor itu nyatanya berlangsung cukup lama, bahkan saat selesai sarapan. Keluarga yang minim komunikasi ini, membuat suasana menjadi canggung.

"Ayo ke halaman depan."

"Ah iya, bang."

Bian lebih memilih ajakan jendra, ia memilih pergi dari suasana tersebut.

Duduk di tepian gazebo di halaman belakang, bian diam menatap sang abang. Jendra sedang sibuk memainkan ponselnya. Rasanya bisa duduk bersebelahan seperti ini bian sudah bersyukur, walaupun berkali kali, ia ingin meminta lebih dari ini.

Rasa syukurnya ia ucapkan bekali kali, ia tak marah, ia juga tak kecewa, bian selalu berfikir bahwa masing-masing manusia memiliki hak-nya untuk bersikap. Cukup terlihat naif, bahkan terkesan sangat naif, untuk sikap bian yang seperti ini, sikap bian yang selalu memikirkan perasaan orang lain, membuat ia tak disukai teman temannya. Ali, panji dan juga radit cukup tidak suka dengan sikap bian yang seperti ini.

"Wanita itu masih sering bawa selingkuh ke rumah?" Akhirnya jendra memilih untuk membuka topi obrolan terlebih dahulu, pandangannya tetap fokus pada ponselnya, ia berbicara tanpa melirik sang adik sedikitpun. Bodohnya, bukan membuka obrolan dengan baik, jendra malah membuka pembicaraan yang cukup sensitif untuk hati bian.

Bian menoleh, memandang sedikit wajah sang kakak, lalu setelahnya menggeleng pelan. "Wanita itu? Oh mama.....? Ya,.....Engga si, kemarin pulang sekolah, rumah sepi. Malemnya mama teriak teriak." Ada getaran aneh pada hatinya, saat mengingat hari harinya jika mamanya membawa pria lain.

"Apa wanita itu suka ngamuk tiap malem?"

"Ga tiap malem juga si bang, cuma kalo dibilang jarang juga engga, sering juga engga." Kata kata yang terlontar dari mulut bian, nada suara yang terkesan tenang, cukup membuat hati jendra sakit. Entah bagaimana sang adik, bisa menjawab dengan biasa saja, bian dengan tenang menjawab pertanyaannya. Namun jauh dari lubuk hati bian, sakit itu begitu terasa, tanpa diketahui oleh jendra.

Jika percakapan seperti ini terdengar oleh orang lainpun terkesan pembicaraan yang biasa saja, layaknya percakapan saudara, percakapan yang cukup akrab.

"Kalo wanita itu-"

"Itu mama bang, berhenti panggil dia wanita itu, wanita itu. Abang ga boleh gitu ke mama." Bian melayangkan protesnya, ia tak suka panggilan dari abangnya untuk sang mama.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang