masih dengan doa yang sama, namun kali ini usahanya diperbesar
.
.
.
.
."Astaghfirullah,..... gue kesiangan! aduh, ali udah nelfon berkali kali lagi." Bian langsung bangkit dari tidurnya, bahkan ia tak sadar ia tidur dengan berselimut dan juga dengan berbantal. Ia langsung buru buru menelfon balik ali.
"Assalamualaikum ali, maaf banget li, maaf banget nih ye, gue anu, anu li, gue ketiduran, lo udah di bengkel? sama irham? Atau masih dirumah? Motor lo bisa nyala buat dibawa ke bengkel atau gimana li?" paparnya panjang lebar dengan nada yang begitu cepat.
"SINTING Lo ya?!! Lo ngeRep? nafas dulu deh lo, eh iya waalaikumsalam, gue sampe lupa jawab salam gara gara lo!" Ali mendengus. "Gue udah di bengkel nih sama irham, lo bener mau nyusul ke sini? Maaf banget jadi ngerepotin lo."
"Share lokasi li, gue otw, assalamualaikum." Tak banyak basa basi lagi, bian langsung bergegas dari pada membuang waktu untuk mengobrol di telfon.
"Waalaikumsalam." Ali membalas salam bian. bian dengan sepihak mematikan telfon setelah mendengar jawaban dari ali.
Keningnya mengerut, melihat sajadah yang tertutup oleh selimut, disampingnya ada juga satu buah bantal. "Perasaan gue ketiduran deh? Ga pake selimut, ga pake bantal juga? Iya kan inget banget, kalo niat tidur ga bakal gue tidur di atas sajadah? Siapa yang masuk kamar gue?" Ia begitu menebak nebak siapa yang melakukan hal tersebut untuknya, pasalnya bian begitu senang, walaupun tidak ditunjukan secara terang terangan, bukankah terlihat muncul sebuah harapan? "Ah masa iya? Papah ga mungkin si, kek sudi aja dia masuk kamar gue, mama? Ga mungkin juga, ngapain mama masuk kamar yang paling anti dia masukin? HAH? JANGAN JANGAN? GUE NGIGO?? Kek tiba tiba ngambil bantal sama selimut gitu? Maybe? hahahahaha." Bian bergelut dalam pikiran anehnya itu, menebak apa yang terjadi saat ia tertidur, pikirannya berfokus dan mengira ialah yang melakukannya, dipikir secara logika harapan itu tidak mungkin terjadi, tapi bisa saja mungkin. Ia tidak tau mana kebenarannya.
Bian bergegas bersiap siap untuk pergi ke bengkel menemui ali, saat semuanya sudah selesai, bian mulai menglangkah keluar dari kamarnya. Dengan celana cargo berwarna brown, dipadukan kaos oblong berwarna cream, ditambah jaket bahan dengan warna yang sedang dengan celananya.
Siluet sang mama terlihat sedang menonton televisi diruang keluarga sendirian, tv memang menyala menayangkan acara memasak, namun pandangan sang mama entah berada dimana, tatapan itu begitu kosong, padahal pandangannya menghadap depan. "Ma?" Tak ada balasan, membuat bian akhirnya mendekat. "Mama? Mama udah sarapan belum?" Suara yang mengalun penuh kasih sayang itu selalu bian berikan untuk sang mama.
"Pergi, jangan ganggu, jangan muncul dihadapan saya, mood saya semakin rusak karena liat wajah kamu!" nada datar penuh tekanan itu, hanya bisa membuat bian tersenyum tipis.
Bian melangkah ke dapur terlebih dahulu, membuatkan sang mama teh hangat. "Mah, teh anget, biar enak badannya, aku ijin keluar ya ma, nanti sore insyaallah aku udah dirumah, mama kalo butuh apa apa bisa telfon bian ya," jelasnya panjang lebar, walaupun tak dapat balasan, bahkan dilihat saja tidak. Bian tetap menghormati mamanya. "Mah? Aku ijin pergi ya?" Niat ingin menyalami tangan mamanya, namun dengan cepat lita langsung menepisnya.
"Jangan sentuh saya!!! Saya ga sudi tangan saya kamu sentuh, pergi!!!" sorot tajam itu benar-benar membuat bian terdiam tak berkutik, sakit sekali hatinya mendengar itu dari ibu kandungnya sendiri. "SAYA BILANG PERGI!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
seribu topeng berbalut luka
Teen FictionRumit, bagian bagian yang saling terikat namun begitu membingungkan. Bian adalah manusia rumit yang tak mengerti akan hidupnya sendiri. Kurang terbuka, enggan menceritakan konflik yang ia alami, yang ia rasakan dan selalu menutup diri. Nyatanya mala...