bab 12 [ hanya ingin dimengerti tanpa harus bersuara]

240 31 0
                                    

Jangan meminta maaf terlalu banyak untuk diri sendiri, sesekali berterima kasihlah pada diri sendiri, berterimakasih lah sudah berdiri hingga sejauh ini.
.
.
.
.
.

Rintihan hujan sudah mereda, jingga mulai menampakkan keindahannya, empat orang remaja ini tengah menatap senja yang hampir tenggelam, mereka larut dalam suasana, perasaan hangat itu menguap, menyelimuti dinginnya hawa selepas hujan.

"Harus dari mana dulu gue cerita? Apa emang perlu cerita ya? Bakal merubah apa emangnya? Gue masih ga paham, kenapa harus cerita?" Bian bertanya, pandangnya masih fokus pada senja yang kian tenggelam bersama waktu.

Ketiganya diam, masing masing dari mereka memilih untuk merangkai kata terlebih dahulu, bagaimana caranya agar bian bisa terbuka?

"Lo ga perlu tau, semua kejadian yang ada dihidup gue bian," ujar ali tiba tiba itu, membuat bian menoleh, tatapannya seakan tak terima dengan ucapan barusan. Namun bian tak menyela, ia tau ali belum selesai menyelesaikan kalimatnya. "Ini hidup gue, masalah yang terjadi di hidup gue itu bukan urusan lo, jadi jangan ikut campur."

"Lo ini ngomong apa si? Gue temen lo,... Udah sepatutnya gue bantu lo, lagian apa apan si tiba tiba gini?" ujaran tak terima itu mendapatkan kekehan dari ali. Emosinya menjadi tak stabil.

Ali menatap lekat bian, lalu tersenyum simpul. "Nah itu lo tau bi, tapi kenapa selama ini lo selalu nanggung apa apa sendiri? Gue kalo ada masalah dan ga cerita cerita, lo selalu bilang kalo lo kaya ga berguna banget jadi temen, terus apa bedanya sama gue? Lo yang selalu apa apa diem dan ga mau cerita apa apa?"

Kata-kata yang terlontar, benar' benar sukses membuat bian membungkam kata kata yang akan ia lontarkan, bian kalah, ia tak bisa melawan.

Bian menghembuskan nafasnya kasar. "Gue ga suka cerita, gue ga mau ngomong." Tatapan bian menatap lekat ketiga temannya. "Gue ga suka cerita, gue cape buat selalu ngomong tanpa didengar."

Ali hanya mengangguk paham. "Oke, gue bisa liat hasil pemeriksaan lo tadi abis dari rumah sakit?" Ali bersikap biasa saja, radit dan panji hanya memerhatikan apa yang akan dilakukan ali, sejauh ini ali bisa mengerti, ali bisa paham dengan tatapan bian. "Bian ingin di mengerti tanpa bersuara."

"Ada di atas meja tadi." Mendengar jawaban bian, ali bangkit mengambil amplop putih hasil pemeriksaan medis bian. Rentetan kalimat mulai ali pahami, satu kata tak akan ia biarkan terlewati, ekspresi datar. Awal membuka isi amplop putih tersebut, hingga akhirnya kertas itu kembali ke dalam amplop.

"Gue pulang ya? Ayo dit, ji pulang, lo Isitirahat aja dirumah."

"Lah? Kok pulang, kita ga tau apa apa anjir, terus itu gimana hasil pemeriksaan nya? Gue kan juga mau tau Li," protes panji tak terima. "Lo mau ninggalin bian gitu aja?"

"Bukan gue niat ninggalin bian ji, tapi bian yang pengin sendiri, biarin dia bertarung di waktu kesendirian nya. Bian butuh ruang nya sendiri."

"Udah nurut aja kata ali, bi,..... Kita pulang dulu ya?"

Bian tersenyum simpul, bian benci bercerita, ia butuh waktunya sendiri.

"Gue mau pulang ya bi? Tapi sebelum itu gue minta ijin dulu boleh?"

"Minta ijin soal apa li?"

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang