bab 2 [tak ada hari tanpa topeng]

354 34 7
                                    

Terkadang memang benar adanya, seseorang yang memiliki tawa riang, adalah seseorang yang menutupi lukanya dengan hebat.

.
.
.
.
~~~~

"Turun! woy bian turun! Gila ya Lo?!! kalo ketauan guru lewat gimana?!" ali terlihat misuh misuh melihat abian yang asik memetik mangga di belakang sekolah. Walaupun luka lebam di punggungnya belum cukup pulih, bian benar benar bertingkah seperti orang yang sehat, berjalan dengan normal. Walaupun merasakan nyeri di bagian yang dipukul tadi malam, bian tak menunjukannya, ia tetap terlihat baik baik saja, membuktikan pada dunia bahwa hidupnya itu begitu baik baik saja.

"apaan si, orang gue udah bilang ke ibu mumun kok, lagian ini bukan punya sekolah. Ini pohon punya Bu mumun." Setelah selesai mengambil beberapa mangga yang cukup matang, bian mulai berancang ancang untuk lompat turun.

"Jangan lompat yan, ini tangga di pohon ga digunain buat apa?" Panji di buat heran, melihat kelakuan abian, di beri kemudahan malah memilih kesusahan.

"Biar keren," jawabnya enteng. "Langsung lompat, buat uji kaki juga, siapa tau gue punya ilmu dalam."

"Blog!! Bisa patah kaki lo, ilmu dalam katanya anjir, ke dukun aja sana lo, jadi sekte penyembah api, dikira ini pohon setinggi 2cm apa? Main lompat lompat aja." Sekarang radit ikut bersuara, dia berdecak pinggang melihat kelakuan temannya yang sudah seperti satwa lepas. "Turun pake tangga bian, ga usah aneh aneh, ini pohon mangga."

"iya gue tau ini pohon mangga, orang dapetnya juga mangga, kalo dapet duren berarti pohon duren," ujarnya sambil melihat ke bawah yang cukup tinggi, ia cukup di buat pusing melihat ke tinggian tersebut.

"Ini anak ngeyel banget si, turun cepet pake tangga!!" Teriak ali, dia menatap tajam ke arah bian, mewanti-wanti agar tidak langsung lompat.

Radit kembali membuka suara. "Cepet turun woy, dikira gue ga mau juga apa mangganya!"

"Iya elah tuan muda kaya raya gratisan mulu hidupnya, dompet lo jual gih buat beli pohon mangga," sindir panji.

Ali juga melirik ke arah radit. "Uang Lo itu manfaatin dikit kek dit!" Radit hanya membalas dengan tatapan malas, pasti besok dan besoknya dompet 17 jutanya itu akan terus menjadi topik yang selalu menyempil. Ali kembali menoleh ke arah pohon, ia membelak matanya terkejut, melihat bian sudah tidak ada ditempat. Matanya mencari cari keberadaan bian, yang mana sudah sibuk duduk di depan warung sambil mengupas mangga. "Kok Lo udah disitu si yan? Kapan turunnya?"

"Teleportasi tadi, maaf ya gue baru jujur. Gue sebenernya bukan manusia."

"Siapa yang bilang lo manusia nyet? Bukannya udah masuk satwa?" Radit menceplos, ikut duduk disebelah bian sambil mencomot satu buah mangga.

Bian mendelik tak terima. "Enak aja si disamain sama satwa, gue udah kek pangeran gini." Bian dengan kesadaran penuh, dengan mode tingkat percaya diri yang sangat tinggi.

"Najis!" sarkas radit.

"Pangeran apaan gelantungan di pohon kaya tadi? Pangeran monyet? Bisa jadi si." Ali menggaguk angguk membenarkan ucapannya barusan.

"Udah udah, makan mangga aja bacot banget!" Panji menetap malas teman temannya yang banyak omong semua, ya termasuk dirinya juga si.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang