CHAPTER 9-Bait satu

16 2 0
                                        

“Kalau gue di suruh mengarungi tujuh laut samudera, mendaki pegunungan Himalaya hanya demi lo seorang. Gue akan menolak mentah-mentah. Kenapa? Karena gue tau, sepanjang apapun perjalanan gue menuju lo, tetep yang lo mau dia bukan gue. Walaupun gue minta jadi yang kedua untuk biarin gue bahagia, jelas lo ga akan pernah gue miliki selamanya.”

***

Langit di penghujung bulan Desember sudah memasuki musim penghujan. Dua orang yang sibuk bertengkar dalam pikirannya masing-masing berada di perpustakaan sekolah. Sekolah sudah berjalan seperti biasa. Tanpa adanya sesi. Dua orang yang sedang berkecamuk memikirkan kata yang pantas di sandingkan dalam tiap baris, menyusun diksi yang indah untuk suatu kegiatan mengatas namai sekolah. Salah satu gadis mengetuk meja perpustakaan pelan, berharap mendapatkan referensi dari ke-frustasiannya. Sedang gadis satu lagi hanya menatap tulisannya yang hanya terlihat satu bait.

Rentan bulan ke bulan
Memperlihatkan sang empu yang kian menghilang
Entah dimana pemilik hati yang hilang
Sebuah rasa bak sirna tertikam

Pikiran gadis itu kalut. Ia menatap bait puisi yang telah ia buat. Tema puisi yang akan di bahas adalah tentang perasaan. Menurut gadis itu, ia bisa saja mengungkapkan isi hatinya lewat puisi saat ini. Bukan bisa saja, tetapi memang benar. Gadis yang sedang menatap bait yang ia tulis berdeham, melihat gadis mungil yang duduk di hadapannya sinis. Yang merasa terpanggil pun melirik ke arahnya. Gadis mungil itu lantas memulai percakapan pertama sejak mereka memasuki perpustakaan. “Gue baru satu bait”, ucapnya santai. Gadis itu melirik ke arahnya. “Gue juga sama”. Kecanggungan selalu melanda mereka kala berada di tempat yang sama. Lebih tepatnya, bertengkar dalam dunia ilusi masing-masing. Gadis yang masih sibuk dengan tulisannya merasakan sudah cukup ia berpikir keras, saatnya pergi ke kantin atau sekedar ke warung teh Iroh untuk mengisi perutnya yang kosong. Ia bangkit dari duduknya. “Mau kemana?”, tanyanya. Gadis itu terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan gadis mungil tadi.

Suasana ramai kantin sekolah membuatnya muak. Akhirnya dengan malas ia melangkahkan kakinya menuju warung teh Iroh yang pastinya akan sama ramainya dengan kantin, namun kedua teman gadis ini berada disana menikmati bakso teh Iroh. Gadis itu menuju bangku pojok tempat kedua temannya duduk dan berbincang sekarang.

“Revaaa usus gue melilit lama lama gara gara lo ahhhh”.

“Ya elahhh makan keripik kaca enam bungkus doang udah bilang gitu”.

“Enam bungkus DOANG kata lo? Emang stress”.

Gadis itu duduk lalu memakan bakso goreng yang sudah ia ambil dari etalase milik teh Iroh. Dengan saus tomat dan mayones yang sudah ada di atas bakso goreng itu. “Gue capek banget anjir, kenapa ya partner gue harus dia”. Kedua temannya menoleh. “Yaelahh, siapa suruh lo terlalu pinter merangkai kata-kata”, ujar Reva. Maya mengangguk setuju. “Lagian siapa lagi selain kalian yang bisa puisi. Eh yang jago buat puisi?”, ketus Maya. “Ga usah di sangkut pautkan sama urusan lo dibalik itu semua Mey, biarin aja kali, anggap aja ga pernah punya masalah.” Meyyi  menatap kedua temannya satu per satu berharap salah satunya membelanya atau apalah. Nihil, tidak ada perbincangan lagi setelahnya.

Diseberang sana, Tasya seperti biasa bergosip dengan temannya. Ia tampak antusias mendengar gosip an dari kedua temannya yang juga antusias menceritakan gosip hot. “Ih Dea sama Rido mah ga begitu lucu sih menurut gue. Lebih lucuan ceritanya si Zidan sama Ami hahaha”, lengos Dara. Mereka serempak tertawa. Bagaimana tidak? Pasangan itu jauh dari kata lucu. Kehidupan mereka penuh plot twist, dari Ami yang notabene nya adalah cewek tinggi cantik, berbalik dengan Zidan si cowok pendek. Kisah mereka jelas banyak di ketahui oleh orang-orang. Kehidupan mereka selalu berputar-putar antara orang baru-masalalu-orang baru-masalalu.

“Eh lo gimana event?”, tanya Sefir memecah tawa. “Ga gimana gimana, gue sih bentar lagi selesai”. Sefir meminum es jeruk di hadapannya. Ia menatap wajah Tasya lamat-lamat. “Dia ga macem-macem ke lo kan sya?”. Tasya menggeleng dengan cepat.

Tasya menatap ubin warung teh Iroh. Melihat tiap kotak kardus yang tersusun rapi di ujung sana. Melihat sepanjang penghujung jalan di sekitar warung teh Iroh yang menyediakan tempat sampah. Betapa teh Iroh sangat menjaga warungnya. “Hubungan gue sama Iki makin gak jelas. Dia sering bahas Meyyi. Gue gak suka. Iki jadi cuek juga ke gue, sedikit sih.” Tasya mengeluh tepat di hadapan teman-temannya. Sefir tertawa hambar, menatap wajah Tasya. “Emang gue juga bilang apa, Iki se gak jelas itu buat di pertahanin tapi lo nya buta. Budeg juga”. Tasya menghela nafasnya gusar. Ia bingung harus melakukan apa sekarang. Menatap Dara yang balas menatapnya. “Apa mau kita labrak aja si Meyyi”, ceplos Dara. Sefir pastinya sangat senang dengan penuturan yang jelas oleh Dara. Bukan Sefir namanya kalau tidak senang membuat masalah. Dengan cepat Tasya menggeleng. “Kali ini gue gak mau bales dengan hal kayak gituan ah. Toh ga sepenuhnya salah dia”.

Kembali lagi pada Meyyi dan teman-temannya yang juga sedang bergosip mengenai Zidan dan kekasihnya itu. “Iya anjir katanya si Ami nya gamon sama mantannya terus Zidan nya gamon sama Ami”.

“Hahahaha kata gue juga apa, entar bentar lagi balikan lagi tu berdua”.

“Hahahaha”.

Mereka tertawa bersamaan. Mengingat kisah cinta Zidan dan Ami adalah gosip se antero sekolah. Maya memegangi perutnya yang sejak tadi sakit akibat keripik kaca enam bungkus yang ia makan dengan Reva.

“Rev perut gue sakit banget”, Maya merintih. Reva hampir tertawa mendengar rintihan Maya. “Ya ampun, baru juga makan enam bungkus May”. Meyyi menepuk dahi pelan. Mustahil bagi Reva untuk merasakan pedas dalam lidah nya. Meyyi menatap handphone nya yang menyala menandakan ada pesan masuk. Ia menyalakan mode senyap sejak berada di perpustakaan.

Tasya
Ditunggu di perpus sama bu Lilis
Katanya mau liat karya lo udah sampe mana

Meyyi menutup handphone nya setelah membalas pesan dari Tasya. Ia bangkit dari kursinya. “Kemana neng?”, tanya Reva. “Mau ke perpus, gue kayaknya dispen lagi buat selesain puisi. Itu Maya bawa ke UKS aja mending”. Meyyi pergi tanpa mendengar jawaban dari kedua temannya.

“MEYYI....”, panggil seseorang dari belakangnya. Jalan di koridor kelas membuatnya merindukan pelajaran pelajaran di kelas. Padahal baru dua hari ia melakukan dispensasi. Meyyi membalikkan badannya melihat Lano yang berlari dengan buku di tangannya.

“Kenapa?”.

“Gue cuma mau kasih buku gue aja sih buat ajang belajar lo di rumah, takut lo ketinggalan pelajaran, toh pelajaran hari ini kita sama.”

Meyyi tersenyum manis, mengambil buku yang di serahkan Lano kemudian menatap nya. “Makasih yaa, gue ga berpikir kalo kita ga temenan kayak gimana”, tawa lepas Meyyi jelas terlihat saat ini. Lano membalas senyum Meyyi dengan satu senyuman memperlihatkan gigi rapi nya. “Eh gimana proses puisi lo?”, tanya Lano penasaran. Meyyi terlihat berpikir sejenak. “Gue baru satu bait, bingung mau gue tulis apa, padahal waktunya tiga hari lagi”.

“Gue yakin lo pasti bisa Mey, mau gue bantu gak?”.

“Eh emang bisa?”.

“Wah lo jangan remehin gue..”.

Meyyi tertawa kecil mendengar ucapan Lano. “Mau bantuin?”, tanya Meyyi jelas sangat serius. Lano mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian mengacak rambut Meyyi yang dibiarkan tergerai. Lano merogoh saku celananya dan memberikan ikat rambut berwarna hitam pekat. “Nih pake, biar ga gerah pas mikir buat puisi nya”, Lano masih memegang ikat rambut di tangannya. Meyyi menatap Lano kemudian mengambil ikat rambut itu seraya mengucapkan terimakasih. “Yaudah gue ke perpustakaan dulu ya, makasih buat buku dan ikat rambutnya”. Lano tersenyum, ia mengangguk mengiyakan.

Disana. Jauh dari sana. Seseorang memperhatikan mereka berdua dengan tatapan yang menyebalkan. Kesal.

01.03Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang