"Datang akan pergi..."
"Tiga tahun telah kita bersama... jalani kisah yang indah..."
Mencari asal suara yang ternyata dimiliki oleh Reva dan Maya yang berada dalam bilik toilet. Meyyi sedang mencuci tangannya merasa terganggu dengan suara itu pun berteriak. "Heh berisik banget sih kalian, emangnya sekolah ini punya kalian? Hah?". Reva dan Maya pun hanya cekikikan di dalam bilik. Hingga secara bersamaan mereka keluar dari dua bilik yang berbeda, mencuci tangannya lalu menatap wajah Meyyi.
"Jangan begitu lo sama gue. Nanti kangen sama gue gimana?", celetuk Reva dengan cengiran khas-nya. Maya menyeringai lebar saat melihat wajah Meyyi yang bergidik ngeri. "Nanti kita harus sering ketemu gak sih?". Kompak mereka mengangguk lantas tertawa kecil sebelum kembali ke kelasnya masing-masing.
Berbeda ruangan dengan kedua temannya, Meyyi berjalan gontai menuju ruang ujiannya. "Huffftt... capek banget ya ternyata ujian kayak gini. Menguras tenaga banget satu ruangan sama orang yang gak deket sama kita. Berasa lagi ngobrol sama orang orang tua", papar Meyyi sambil terus berjalan. Hingga bahunya di tepuk oleh seseorang.
"Kamu habis dari mana? Tadi aku cariin kamu ke kelas. Aku mau anter ini", Iki menatap wajah Meyyi dengan senyum manisnya lantas memberikan tote bag berwarna hitam. "Apa nih?", tanya Meyyi penasaran. "Nenek baru pulang dari Bali. Katanya itu oleh-oleh untuk kamu". Meyyi mengangguk. Jangan salah, keluarga Iki sudah tau ia berpacaran dengan Meyyi. Toh neneknya akan senang-senang saja, cucunya berpacaran dengan gadis cantik dan pintar di sekolahnya. Meyyi pun sudah biasa dengan hal itu. "Bilang nenek kamu, makasih ya. Jangan lupa minum obat nya. Nenek kamu kebiasaan suka telat makan".
"Yah.. kayak kamu enggak aja deh", Iki tertawa kecil sambil mengacak-ngacak rambut hitam Meyyi. Meyyi mendengus kesal lalu meninggalkan Iki dan menuju kelasnya.
***
Bel istirahat baru saja berbunyi. Siswa-siswi berbondong-bondong pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang kosong akibat berpikir terlalu keras demi mengerjakan ujian. Lain halnya dengan Iki yang malah mengajak temannya untuk bermain basket di lapangan.
"Lempar ke gue Daf".
"Three point bro!".
"Anjas kelas".
Begitu kira-kira umpatan yang terdengar oleh para gadis yang menonton basket itu. Umpatan dari para pemain bola basket. Disamping itu, para gadis yang menonton bersorak gembira saat melihat Iki bermain dengan gesit dan lagi-lagi selalu mencetak poin.
"Idaman banget sih gilaak".
"Coba kalo gue jadi ceweknya, udah gue pamerin".
"Cakep banget bang".
Mendengarnya saja sudah membuat kuping Meyyi panas. Pasalnya, sejak tadi ia duduk di dekatnya memegang botol berisi air dingin untuk Iki. Kesal mendengarnya, Meyyi menghentakkan kakinya hingga para gadis menoleh sesaat lalu kembali menatap Iki yang sok ganteng. "Nyebelin banget sih, kenapa harus mainin rambut depan mereka. Dipikir keren? Ishh bete".
Iki menghentikan permainan karena tenggorokannya terasa kering. Ia melihat sekeliling mencari keberadaan pujaan hatinya. Tidak memedulikan sebanyak apapun gadis yang berdiri di sekeliling, Iki tetap menghampiri Meyyi yang masih berdiri sembari memainkan kakinya ke depan lalu belakang. Tak butuh waktu lama, Iki mengambil botol yang ada di tangan Meyyi lalu meneguk airnya hingga tersisa setengahnya saja.
Iki bingung dengan ekspresi wajah Meyyi yang terus memajukan bibirnya, tangannya pun dilipat di depan dada. Melihat gadis-gadis itu terus berbinar, Iki paham mengapa Meyyi seperti ini. "Jangan peduliin mereka. Kan yang aku datengin juga kamu", sambil mengusap kepala Meyyi yang mematung.
"Ishh sebel banget sih, ngapain lihat-lihat kamu? Mata mereka rasanya mau aku tusuk pake paku biar gak bisa liat cowok orang", rengek Meyyi. Gadis-gadis disana acuh dengan keberadaan Meyyi dan masih berbinar menatap Iki. "Sana deh pergi. Dia udah punya cewek. Ngapain sih liat-liat?", sambar Meyyi pada gadis-gadis itu. Mereka pun sebal lalu pergi meninggalkannya.
"Lucu banget pacarku", ujarnya seraya tersenyum lalu mencubit pipi Meyyi hingga ia mendengus kesal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
01.03
Teen FictionPernah mendengar ucapan orang "sejauh apapun lo maju, orang lama tetap pemenangnya"?. Senyuman itu, yang selalu terpikirkan di kala senja di iringi gemercik hujan rintik sore hari. Tawa itu, yang selalu terdengar saat diri ini tertawa dengan yang la...