CHAPTER 24 - Kebenaran

5 2 0
                                    

Ia kembali ke ruang tamu untuk menonton film. Tapi matanya tak bisa teralihkan dari handphone nya yang terus menyala akibat notifikasi. Ia membuka handphone nya. Men-scroll aplikasi WhatsApp nya, terlihat beberapa pesan disana, tapi yang menyita perhatiannya adalah pesan dari Lano. Meyyi bingung, sebab ia dan Lano sudah lama tidak berkomunikasi. Mata Meyyi membulat sempurna. Hatinya terasa remuk.

Lanoo
emangnya lo putus ya sama Iki?
*mengirim foto
gue ketemu sama mereka di kedai pas mau otw balik
tadinya sih mau masa bodoh, tapi baru inget kalo kalian kan baru jadian beberapa minggu lalu

me
oh iya itu tdi iki bilang ke gue mau ada acara kelasnya gitu sih...

Lanoo
bukannya mereka ga sekelas ya?
oh yaudah deh, gue kira kalian putus gitu

Dada Meyyi terasa sesak saat melihat kekasihnya dalam foto sedang duduk berdua bersama gadis yang ia kenali. Natasya Asila.

“Kalo ini mau lo, kenapa lo hancurin gue? Tapi lo keren. Ini hari pertama gue baru balik, gimana seterusnya?”, batin Meyyi.

Meyyi jelas tidak menangis saat ini. Rasanya ia ingin tertawa melihat dan membacanya. Ditambah lagi, pesan darinya tak kunjung di balas oleh Iki sejak tadi. Meyyi menyunggingkan senyumnya lantas mengetik pesan singkat pada seseorang.

me
bantu gue untuk pantau dia.

***

Malam itu perut Meyyi sudah keroncongan karena lapar. Sejak tadi siang ia belum makan apapun. Meyyi memutuskan untuk pergi keluar sebentar untuk membeli makanan di supermarket, tapi langkahnya terhenti saat mendengar bel rumahnya berbunyi. “Siapa sih yang datang malam begini?”, pikirnya.

Meyyi melihat seorang lelaki dengan tatapan tajam dan wajah datarnya sedang berdiri di ambang pintu, tidak. Lelaki itu tidak sendiri, di samping nya ada seorang lelaki paruh baya yang di prediksi berumur 40 tahun. Meyyi dengan cepat menundukkan pandangannya yang terkejut. Tapi dengan cepat ia menyalami tangan lelaki paruh baya itu.

“Papa kok gak bilang kalo jadinya hari ini pulang?,” tanya Meyyi ragu pada Rodi yang dengan santainya masuk kedalam rumahnya lalu duduk di sofa bersama Lio. Anak kesayangannya. Lio menyilangkan kakinya menatap tajam kearah Meyyi. “Mending lo ambilin gue sama papah minum, jangan diem aja. Ganggu mata gue tau gak?,” titah Lio yang langsung di balas anggukan oleh Meyyi.

Kembali dengan dua gelas air kopi panas. Gadis itu duduk di salah satu sofa lalu melirik Rodi yang menampakkan wajah lelah. “Pa..”

“Saya mau pulang hari ini, besok atau lusa pun terserah saya. Toh ini rumah saya!.” Lelaki paruh baya itu seakan tau apa yang akan di tanyakan Meyyi. Sedangkan Lio tersenyum puas melihat drama ini. “Papah sama kak Lio habis dari mana?,” tanya hangat Meyyi. Tangannya sudah di gesek-gesekkan karena gugup.

“Saya dan anak saya habis mengecek perusahaan. Terbukti kan? Anak saya itu yang membanggakan, bukan yang lemah seperti kamu!.”

Meyyi menunduk lesu. Ia memilih untuk pergi masuk ke kamarnya dan mengunci diri. Niatnya untuk pergi ke supermarket harus di urungkan. “Ke-kenapa papah gak pernah nerima aku juga? Apa salahku?,” tanya Meyyi dalam tiap tetes air mata yang membasahi pipinya. Dalam Isak tangisnya, Meyyi melihat tangan itu, mengelus lembut rambut nya. “Mama... aku capek. Bolehkah aku nyerah?,” dipandangnya wajah Berlian saat itu. Berlian tersenyum lalu memeluk tubuh mungil anak gadisnya itu. Sedetik kemudian, ia menghilang.

Meyyi mengerjapkan matanya saat sinar matahari dari jendelanya masuk menembus gorden. Ia melihat sekeliling. Tersadar bahwa semalam ia tidur di lantai dekat pintu. Ia bangkit lalu bercermin sebentar. “Aduhh, mata gue kenapa harus sembab deh,” ucapnya pelan. Meyyi mengambil ponselnya lalu melihat beberapa pesan.

Iki?
maaf aku baru bales, tadi aku habis ngobrol sama nenekku

Meyyi menyunggingkan senyumnya lantas menjawabnya ‘iya’. Ia tidak mau membahasnya sekarang. Yang sedang Meyyi pikiran sekarang adalah Rodi dan Lio. Meyyi takut akan mendapatkan hukuman secara tiba-tiba. Tapi ia melawan rasa takutnya dan keluar setelah mandi. Menyiram tanaman yang dulu di tanam oleh Berlian.

***

“MANA HASIL UJIAN KAMU ANAK LEMAH?,” bentak Rodi dengan amarah yang memuncak. Ia menatap sengit wajah Meyyi.

“A-anu.. nanti sewaktu wisuda di bagikan pah”.

“Saya gak mau nilai kamu sampai jelek. Lihat saja kalau nilai kamu turun, walaupun hanya satu.” Setelah mengatakan itu, Rodi pergi meninggalkan Meyyi sendirian. Rodi berniat pergi dari rumah untuk melaksanakan tugas keluar kota.

“Pah, bulan depan aku wisuda,” ucap Meyyi ragu. Sebenernya ia tau Rodi pasti tidak akan menghadirinya, tapi setidaknya ia harus mengatakannya pada Rodi.

“Halah, kamu itu gak berhak meminta saya datang ke acara yang akan membuat nilai kamu turun itu."

“Papah, ta-tapi apa se enggak bisa itu untuk datang?.”

“Ck. Dulu ibumu juga tidak datang ke acara anak saya. Padahal dia membutuhkannya tapi malah menjadi garda terdepan untuk anak seperti kamu.”

“Pah, se benci itu kah?.”

“Aaaaarrrrggghhhhh. Diam!. Kamu itu cuma bisa membuat saya dan istri saya capek. Mengasuh kamu itu melelahkan!.”

Meyyi menunduk takut. “Pah, maaf.” Meyyi menghapus satu tetes air mata yang sempurna turun membasahi pelipisnya. Rodi mengepalkan tangannya sambil memandangi Meyyi tajam. “Persetan dengan kata maaf mu. Maaf dari mulut bodoh kamu tidak akan pernah mengembalikan istri saya. Istri saya yang rela mati-matian hanya demi gadis lemah seperti kamu. Padahal nyatanya kamu sama sekali tidak menguntungkan. Mengapa dia lebih memilih menghabiskan tabungannya hanya demi anak payah seperti kamu. Seharusnya dia menjalani operasi agar dia sembuh.” Rodi meninggalkan Meyyi yang masih menangis di tempat. Rasanya sakit sekali mendengar kebenaran dibalik kebencian ayahnya.

“Mah, maafin aku. Aku terlalu bodoh. Benar kata papah. Aku terlalu payah untuk mamah dahului. Kenapa mamah gak mendahulukan keselamatan mamah,” tangis Meyyi pecah. Ia berlari ke kamarnya, lagi-lagi untuk mengunci diri di dalam sana.

01.03Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang