“Jatuh cinta buat gue jadi kayak orang gila ya. Tiap hari mikirin orangnya sambil senyum-senyum. Kan aneh?,” Kalana Meyyisha.
“Gue kira lo bidadari yang kehilangan selendang jadi ga bisa pulang ke khayangan,” Danendra Faiki.
***Bel masuk sekolah baru berbunyi lima menit lalu. Tapi seluruh siswa-siswi kelas tiga sudah kewalahan dengan soal ujian kelulusan. Begitupun Reva yang sedari tadi terus menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Sesekali Reva melirik ke arah Maya untuk sekedar meminta jawaban. Nama panjang Reva adalah Marianne Reva, tak salah jika ia satu ruangan ujian dengan Maya di ruang tujuh.
Lain halnya dengan Reva dan Maya yang kesusahan mengerjakan ujian. Meyyi dengan santainya memutar-mutar bolpoin nya di atas kertas ujian, menuliskan jawaban yang sudh ia dapatkan. Meyyi anak yang cukup pintar, tak salah jika seluruh siswa bahkan guru di sekolahnya mengenal Meyyi.
Bahkan Meyyi dengan cepatnya menyelesaikan ujiannya lalu keluar ruangan terlebih dahulu. Meyyi menelusuri koridor sekolah, mengamati tiap-tiap jengkal sekolahnya. Tepat saat ia melihat lapangan upacara, bahu Meyyi di tepuk oleh seseorang dari belakang. Lantas ia membalikkan tubuhnya melihat siapa di belakangnya.
“Eh Lano?”, ucap Meyyi dengan senyum manisnya. Lano tersenyum lalu mengalihkan matanya menatap hal lain karena tak ingin terhasut lagi dalam pesona Meyyi. “Ini ujian terakhir kita, sehabis ini kita gak akan balik lagi ke sekolah sesuai apa yang di mau semua orang. Anyway lo mau lanjut kemana habis ini?,” tanya Lano santai. Tangannya masuk kedalam saku celananya, menunggu jawaban.
“Kayaknya gue bakal di SMA Brawijaya deh, bakalan balik kampung. Gue ga akan balik lagi kesini”, jawab Meyyi ceria. SMA Brawijaya adalah sekolah favorit yang sangat di impikan Meyyi sejak dulu.
“Semoga terwujud ya,” balas Lano. Meyyi mengangguk sebagai jawaban, lantas Lano pergi meninggalkannya. Entahlah, mereka sudah seperti rival saat ini. Semenjak satu sekolah tau Iki dan dirinya sudah resmi jadian. Meyyi memutuskan untuk pergi ke Mading melihat-lihat. Ia tersenyum kala melihat potret dirinya ada disana, dengan note ‘Si peraih handal’ potret itu di dapat ketika ia mendapatkan piala dari event kemarin.
Meyyi memutuskan untuk pergi ke warung teh Iroh untuk mengisi perutnya yang kosong. “Neng, nanti kalau udah lulus, jangan lupa main kesini ya. Takut teteh kangen sama kalian-kalian”, sapa teh Iroh dengan raut wajah sendu. Meyyi tersenyum simpul, ia mengangguk mengiyakan.
“Woi, lo mah enggak nungguin kita berdua yang kesusahan kerjain empat puluh soal”, keluh Reva dari kejauhan merujuk pada Meyyi yang asyik makan bakso goreng. “Iya ih mana enggak ngasih jawabannya. Kan berujung kita asal jawabnya”, sahut Maya. Meyyi tertawa mendengar kedua temannya berceloteh kesal.
“Ya elah itu biar kalian belajar, jangan nyontek mulu sama gue. Bersyukur deh gue gak satu ruangan sama kalian walaupun bosen”, imbuh Meyyi sambil menyeringai.
“Ya enggak apa apa juga sih. Yang penting gue lulus terus enggak balik lagi ke sekolah ini”, tutur Reva dibalas anggukan oleh Maya. Kami pun tertawa mengingat kami sering mengucapkan ingin segera pergi dari sini dan tak akan kembali walaupun hanya sekedar melihat sekolah kami.
***
“Ih neng Jelita kok begitu sih sama aa Dafa”, rengek Dafa sejak tadi sebab Jelita tidak menghiraukannya.
“Apa sih Kak Dafa. Nanti juga kak Dafa lulus. Kak Dafa gak akan godain Jelita lagi. Kak Dafa bakal godain nya cewek di sekolah kak Dafa yang baru”, sindir gadis cantik bernama Jelita itu. Dafa memanyunkan bibirnya. “Tapi kan hati aa Dafa cuma untuk neng Jelita seorang”.
“Pembohong. Jelita gak percaya. Buktinya kak Dafa pernah rebutan satu orang yang pastinya itu adalah kak me...”, Dafa dengan sigap mendekap mulut Jelita takut orang lain mendengar.
“Jangan di bahas dong. Kan itu masalalu. Aku udah enggak ada perasaan sama dia selain karena temenan. Sekarang ini cuma buat kamu Jel”, lirih Dafa. Jelita menyilangkan kedua tangannya di dada. Lantas berkata dengan lantang. “Terus kak Dafa mau apa kalau Jelita percaya”, cicitnya. Dafa dengan cengiran khas nya menarik tangan Jelita menjauh dari kerumunan. “Sebelum aku lulus dan kelulusan. Kamu mau gak dateng ke kelulusan aku? Aku cuma mau kamu datang aja sih hehehe”. Jelita mengangguk dengan cepat lalu meninggalkan Dafa seorang diri yang terus tersenyum sejak mengatakan hal itu.
“Nah kan, gue juga bisa foto bareng sama Jelita kalau kayak gini. Biar gak ngenes amat gue. Masa temen-temen gue foto sama pacarnya, gue yang jadi tukang foto. Ah ogah, mending kalo di bayar”, gerutu Dafa.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Pertanda siswa-siswi akan meninggalkan sekolah untuk hari pertama ujian yang sangat berat bagi yang tidak bisa. Meyyi sedang menunggu seseorang di gerbang sekolah. Membiarkan kedua temannya pulang dengan kekasihnya.
“Hai cantik”, sapa Iki saat melihat Meyyi berdiri di gerbang sekolah. Meyyi yang menyadari akan hal itu lantas meliriknya. “Lama banget, aku udah laper tau”, kesalnya. Iki lalu mengangguk dan menariknya masuk ke dalam mobilnya untuk pergi makan.
“Kamu nanti mau lanjut kemana?”, tanya Meyyi serius. Iki melirik Meyyi sekilas. “Aku gimana nenek aku. Kalau beliau suruh aku lanjut disini, ya aku akan disini.” Meyyi menunduk lesu. “A-aku enggak akan balik lagi kesini, sekedar liat sekolah”, lirih Meyyi. Iki berusaha tersenyum walaupun sakit. “Iya aku tau. Keluarga kamu kan enggak disini, wajar kalau kamu bakal pergi.”
“Bukan itu. Kita gimana?.”
“Gimana apanya?”, tanya Iki sambil berfikir keras. Iki berusaha tenang. Pembahasan apa yang sedang dibahas Meyyi saat ini?. Iki menyantap makanan yang sudah datang.
“Aku takut kalau kita hubungan jarak jauh. Aku takut, aku takut pikiran aku jelek”, ucapan Meyyi yang menusuk hati Iki. “Kamu percaya sama aku?”, tanya nya. Meyyi mengangguk lesu. “Aku disini akan baik-baik aja. Tenang aja, Dafa juga pastinya sekolah disini. Kalau kamu enggak percaya sama aku, kamu bisa pantau aku lewat Dafa. Lagian kenapa bahas ini sekarang sih? Kelulusan masih lama loh. Sekitar tiga bulan lagi karena masalah dana sekolah belum keluar. Santai aja kali,” Iki kesal dengan pembahasan yang seharusnya tidak dibicarakan sekarang.
“Waktu tiga bulan itu sebentar kalau di jalanin. Lagian setelah ujian ini, aku bakal langsung pulang ke rumah aku dan balik lagi saat kelulusan. Makanya itu aku bilang gini sama kamu”, cerca Meyyi. Matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi. Iki tidak selera untuk makan. Ia menatap Meyyi lalu menggenggam tangannya erat. “Kita bisa lewati ini, aku yakin. Aku bakal usahain biar selalu ketemu sama kamu. Oke?”. Meyyi mengangguk lalu menghapus air matanya yang luruh. Ia memakan makanannya sebelum diantar pulang oleh Iki.

KAMU SEDANG MEMBACA
01.03
Teen FictionPernah mendengar ucapan orang "sejauh apapun lo maju, orang lama tetap pemenangnya"?. Senyuman itu, yang selalu terpikirkan di kala senja di iringi gemercik hujan rintik sore hari. Tawa itu, yang selalu terdengar saat diri ini tertawa dengan yang la...