"Apa semua ini hanya mimpi bagi gue dan semua cerita itu hanya ilusi?," Kalana Meyyisha.
Melihat pasangan yang terduduk manis di bangku taman sambil tertawa ria membuat hati Meyyi sakit sekali. Air matanya tak henti ia usap dari pipinya sejak tadi. Berdiri di belakang pohon merasakan sakit yang mendalam. Ia sudah menggendong tas ransel hitamnya untuk ia bawa pulang. Tepat pada hari ini, Meyyi memutusjan untuk pulang ke rumahnya daripada terus melihat Iki dan Tasya. Tapi nyatanya sebelum ia meninggalkan kota ini, ia justru melihat mereka sedang berbagi cerita.
"Kamu lucu banget sih, jangan tinggalin aku ya..." ucap Iki pada kekasihnya yang tersenyum manis mendengarnya.
"Iya bawel banget kamu. Sama dia kamu kayak gini juga gak sih?," tanya gadis mungil bernama Tasya itu.
"Apa sih bahas dia lagi, aku gak suka ya."
"Aku cuma tanya..."
"Kamu tenang aja, aku cuma sayang sama kamu selama ini. Perasaan aku ke dia cuma sekedar yaudah ya gimana, bingung juga jelasinnya."
"Tapi kamu yang deketin dia duluan waktu awal masuk sekolah kan?."
"Terkadang ada yang membutakan aku untuk melihat seseorang yang benar-benar sayang sama aku Sya. Aku juga ingin di cintai balik seperti aku mencintai dia di awal episode, tapi dia gak akan bisa memberikan cinta nya untuk aku sampai episode terakhir pun."
"Jadi kamu masih mengharapkan dia untuk kasih cintanya untuk kamu?."
Iki menggelengkan kepalanya. "Cukup sampai kemarin aku berpikir begitu Sya. Sekarang aku akan lihat seseorang yang bisa beri aku cinta itu juga." Meyyi mendengar jelas segalanya. Hatinya terlalu sakit untuk terus mendengar semuanya. Ia memutuskan untuk segera pergi dari sana. Ia berlari mencari taxi, air matanya tak kunjung berhenti. Hendak menyebrangi jalan untuk duduk di halte penjemputan agar dapat dengan mudah menemukan taxi. Tanpa melihat kanan dan kiri, sopir mobil avanza berwarna putih melaju dengan cepat saat itu.
BRUGHH...
Tepat setelah itu, tubuh Meyyi terhempas cukup jauh. Matanya melihat beberapa orang berlarian terkejut dengan kejadian. Tubuhnya lemas, sakit di sekujur tubuhnya membuatnya merasa seperti akan mati. Entah, tapi Meyyi melihat lelaki yang tadi berbincang dengan kekasihnya ada di kerumunan orang, ikut terkejut. "Sa-sakit," ucapnya lirih menahan remuk di setiap sendi tubuhnya. Matanya mulai kabur. "Apa ini akhir dari segalanya? Apa gue harus semenyedihkan ini? Tapi kalau gue berakhir bertemu mama, gue ikhlas." Seseorang menghampirinya dengan gesit membopong tubuhnya yang sudah berlumuran darah. Hanya itu yang ia lihat sebelum matanya benar-benar tertutup rapat.
***
Maya duduk santai di atas kasur empuk miliknya dan kedua sahabatnya. Ia melihat sekeliling isi kamar yang setiap malam menjadi tempat paling menyenangkan. Yang setiap saat menjadi tempatnya tertawa. Menjadi tempat yang harus di kenang suatu saat nanti. Baginya, tempat ini merupakan awal dan akhir dari pertemuan dan perpisahannya. Bukan. Ini bukan yang terakhir, ia berharap kedua sahabatnya akan tetap menjadi sahabat sampai kapanpun itu.
Melamun selama sepuluh menit dilakukan oleh Maya. Matanya kini beralih melihat Reva yang sibuk membereskan beberapa foto-fotonya bersama Maya dan Meyyi. Maya menghampirinya, mengambil satu foto yang mereka ambil saat liburan sekolah di mall dalam photobox. Awal mereka menduga Meyyi menyukai Iki.
"Gue bakal kangen banget sama kalian." Maya mengusap-usap foto itu sambil tersenyum. Di elusnya punggung Maya oleh Reva yang juga tertarik untuk melihat foto itu. Foto paling bahagia yang mereka ambil.
"Harusnya sedari awal kita jangan saling mengenal ya."
"Kenapa?,"tanya Maya kebingungan. Takut selama mereka berteman memang Reva kurang menyukainya.
"Karena setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan itu akan selalu di benci setiap orang."
"Lo bener. Seharusnya kita juga jangan sedekat ini kalau gak mau merasakan sesakit ini."
Netra keduanya berpindah saat mendengar dering ponsel milik Maya. Ia beranjak mengambil ponselnya melihat nama Meyyi dalam layar. Maya menekan tombol berwarna hijau tanda ia mengangkat teleponnya.
"Kenapa Mey?," ucap Maya setelah telepon tersambung. Matanya membelalak mendengar penuturan seseorang dalam telepon. Memberitahu Maya bahwa sahabatnya yang akan pulang ke kampung halamannya malah mengalami kecelakaan di jalan. Dengan cepat Maya dan Reva berlari menuju rumah sakit tempat Meyyi dibawa. Jantung Maya berdegup cepat. Pasalnya, Meyyi adalah orang yang memiliki kondisi tubuh lemah. Maya takut, pikirannya kalut.
Air mata sudah terlanjur membasahi pipi kedua gadis cantik yang duduk di depan ruangan berbau obat itu. Keduanya duduk terkulai di lantai seakan sudah tidak ada tenaga untuk berdiri ataupun bergerak. Hatinya begitu sakit mendengar sahabatnya mengalami kecelakaan dan keadaannya cukup parah. Entah, Maya tidak ada niat untuk menelepon orang tuanya atau bahkan mengabarinya. Maya tau apa yang akan di katakan oleh Rodi jika ia meneleponnya.
Seorang wanita dengan jas berwarna putih keluar dari ruangan menghampiri Maya dan Reva. Keduanya langsung berdiri bertanya bagaimana keadaan sahabatnya.
"Pasien belum siuman, tetapi keadaannya sudah cukup baik. Ada beberapa bagian tubuhnya yang harus di jahit tadi," ucap dokter itu seraya memperbolehkan Maya masuk ke dalam ruangan.
Maya dan Reva duduk di samping tempat tidur Meyyi. Wajah gadis itu pucat pasi. Ia masih terlelap dalam kesakitannya itu. Maya dan Reva tidak ingin kehilangan sahabatnya ini. Air mata mereka tak henti-hentinya keluar.
"Lo harus bangun dan liat kita disini Mey, kita akan tunggu sampai lo bangun," tangis Reva pecah sembari menggenggam tangan halus milik Meyyi. Jari manis Meyyi bergerak sedikit. Maya dan Reva seketika memperhatikan wajah Meyyi.
"Ka-kalian?.." tutur Meyyi lemah.
"Iya Mey, kita disini."
"Gue sayang sama kalian. Kalian udah kayak keluarga gue. Jangan pernah tinggalin gue ya?"
"Kita gak akan tinggalin lo Mey.."
"Gue mau tidur dulu, badan gue sakit semua. Batin gue lelah, gue capek. Gue mau tidur dulu ya?"
Mata Maya tak bisa menahan air mata. Begitupun Reva yang sudah sibuk hampir mengamuk karna ucapan sahabatnya itu. "Tidur lo yang nyenyak ya Mey. Jangan bawa sakit lo kesana.." Meyyi tersenyum mendengar ucapan Reva. Ia mengangguk lemah lalu perlahan menutup matanya. Hingga matanya tertutup rapat, seluruh tubuh Meyyi sudah lemah. Tangis kedua sahabatnya pecah.
"Kita tau lo capek Mey. Semoga lo tenang di sana ya cantik? Ketemu sama mama lo dan peluk erat mama lo biar lo gak merasa kesepian lagi ya.."
"Disana lo udah gak capek lagi kan? Lo udah gak akan tersiksa dengan kehidupan ini lagi Mey. Lo harus bahagia disana dan pasti bahagia."
"Mey.. g-gue gak mau kehilangan orang kayak lo hikss..."
"Dia udah bahagia di sana Maya. Jangan tangisi dia. Jangan Maya. Jangan," mata kedua temannya sudah sembap disana. Melihat Meyyi yang sudah tak berdaya. Jiwanya masih ada di dunia ini. Tapi raganya sudah pergi di jemput oleh pahlawan dalam hidupnya. Mamanya.
"Se-selamat tinggal Mey.."
KAMU SEDANG MEMBACA
01.03
Novela JuvenilPernah mendengar ucapan orang "sejauh apapun lo maju, orang lama tetap pemenangnya"?. Senyuman itu, yang selalu terpikirkan di kala senja di iringi gemercik hujan rintik sore hari. Tawa itu, yang selalu terdengar saat diri ini tertawa dengan yang la...