CHAPTER 11-Kue gandum?

8 1 0
                                        

“Maju untuk deket sama lo bukan satu hal yang mudah buat gue, karena dimana pun lo berada akan ada dia di hati Lo. Melekat.” Kalana Meyyisha.

“Lo itu ibaratkan diksi dalam puisi yang selama ini tercipta untuk lo seorang dalam buku gue. Tapi diksi dalam puisi lo hanya untuk dia seorang. Entah kenapa lo selalu menyimpan nama itu dalam benak lo”, Dalano Mayuph Sagaras.

***

“Hahaha kan gue bilang juga gak nyambung tau syaa..”, tawa hambar Meyyi jelas terdengar di telinga Tasya. Tasya senang, rasanya ia tidak memiliki musuh seperti dahulu. Ia tersenyum tipis. “Iya Mey tau, makanya gue nanya sama lo malah di ketawain”, kesalnya. Meyyi menatap wajah Tasya lalu tersenyum. “Ini di ubah aja jadi Malam terus melaju, seperti malam tanpa bintang.” Tasya mengangguk dan menuliskan kalimat itu pada puisinya. “Makasih..”, ucapnya.

Meyyi membuka makanan ringan yang telah disediakan oleh sekolah untuk mereka berdua. Meyyi harus mengisi perutnya yang kosong untuk melanjutkan berfikir. Besok adalah jadwal lombanya. Sebenarnya ia hanya perlu mengumpulkan karya lewat handphone nya, tetapi Meyyi ingin dan ia harap hari ini selesai. Tepat pukul sebelas siang, puisi Meyyi selesai dan baru saja di unggah pada drive, begitupun Tasya. Ia bangkit dari duduknya dan melenggang melewati Tasya yang sibuk membereskan buku-bukunya. “Syaa gue ke warung teh Iroh yaa, bosen liat buku seminggu”, teriak Meyyi. Tasya hanya membalas iya dalam hati. Ia melanjutkan kegiatannya membereskan bukunya.

Jalan menuju warung teh Iroh pasti melewati ratusan loker siswa siswi. Meyyi hendak menaruh sesuatu di dalam lokernya. Tapi ia melihat seseorang sedang berdiri menatap lokernya sekarang. Dengan satu buah kue gandum dan sticky notes yang ia kenal di tangannya. Seseorang itu menatap Meyyi, kemudian gelagapan panik.

***

Selepas mengganggu kedua temannya yang bermain game, lelaki ini memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Ia memutuskan untuk pergi ke kelasnya. Di kelas, lelaki itu menatap satu bungkus kue gandum buatan mamanya di tangannya. Hendak ia bagikan pun hanya satu. Akhirnya ia memutuskan untuk memberikannya pada seseorang yang pernah ia beri, walaupun ia tau orang itu menyukai orang lain.

Lelaki itu mengambil Sticky notes dari dalam tas nya kemudian menuliskan kata kata di atas kertas tersebut. “Semangat. Daun aja bisa gugur melihat kegigihan lo selama ini, tapi lo jangan kaya daun yang secepat itu untuk gugur.^-^”. Lelaki bertubuh tinggi dengan wajah yang mungkin biasa saja itu berjalan menuju perkumpulan loker siswa siswi sekolahnya. Menatap salah satu loker milik seseorang yang jelas lelaki ini tau siapa pemiliknya. Lelaki itu menatapnya lama. “Ini gimana caranya gue buka lokernya yak? Ah yaudah lah gak di kunci kayaknya”, pikirnya. Hendak membuka loker milik seseorang itu, lelaki ini dikejutkan dengan keberadaan sang pemilik loker tersebut. Meyyi.

“Lo ngapain berdiri di depan loker gue?”, tanya Meyyi mengimitasi. Lelaki itu jelas sudah gelagapan tak karuan saat ini. Ia tersenyum memamerkan giginya yang gingsul sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Eh.. i-ini Mey g-gue m-ma..”.

“Mau apa Dafa?”. Jantung Dafa berdetak kencang. Ia bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. “Akhhh...”, Dafa mengusap wajahnya gusar, ia menyerahkan kue gandum di tangannya pada Meyyi dengan gemetar. “Ini kue gandum buat lo dari gue, jangan bahas apapun abis ini dan jangan buat hubungan pertemanan gue sama Iki hancur. Kalo ada yang mau lo tanyain, tanya aja ke gue”. Setelah mengatakan itu, Dafa pergi dari hadapan Meyyi. Meyyi membaca sticky notes yang tertempel pada kue gandum yang berbalut kotak mika berwarna pink dengan pita hitam.

“Ini persis kue gandum yang gue terima waktu itu, kue gandum yang gue terima waktu ujian.”

***

Dafa memegangi dadanya yang sejak tadi berdetak kencang. Ia memukul tembok yang ada dihadapannya sekarang. Ia memaki dirinya karena telah teledor hingga Meyyi tau siapa yang memberi nya kue gandum itu. “Anjing, kenapa gue ga bilang itu dari Lano aja sih atau dari si Iki kek”, Dafa merutuki dirinya sambil memukul pelan kepalanya.

“Jadi? lo udah selesai sama Meyyi? Dia udah tau?”, tanya seseorang dari belakang. Dafa membalikkan tubuhnya dan mendapati Iki sedang berdiri disana, dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celananya. Dafa menunduk. “Gue teledor kali ini, kayaknya dia bakal tau deh”, cela nya kesekian kali. Iki menyunggingkan senyumnya lalu menepuk bahu Dafa. “Lo yang minta buat bersaing secara sehat, tapi lo sendiri yang buat itu semua berantakan. Lo yang buat gue jadi terkesan jahat dimatanya padahal lo sendiri yang jahat. Jadi selama ini apa gue yang selalu lo bilang salah? Hmm oke.. buat aja biar dia jatuh cinta sama lo, toh dia udah ga akan balik lagi ke gue.”

flashback on

Mengingat perkataannya pada Meyyi saat Iki tau bahwa ia duduk satu ruangan bersama Meyyi. Duduk di belakang Meyyi sangat membantu Iki untuk melakukan proses pendekatan pada Meyyi. Menyenangkan baginya untuk terus mengganggu Meyyi, karena jelas itulah salah satu trik pendekatan menurut Iki. “Jatuh cinta. Menurut gue, benci bisa jadi cinta. Gue akan buat dia benci dulu sama gue.”

Teman teman Iki jelas tau bahwa Iki sedang proses pendekatan dengan Meyyi saat ini. Awalnya semua baik baik saja, hingga suatu saat Dafa mampir secara tiba-tiba ke rumahnya. Mengetuk pintu lalu masuk sembarang.

“Wih ke rumah gue, tumben lo?”, ucap Iki. Dafa duduk di atas sofa milik Iki lalu mengeluarkan handphone nya. “Rank lah”, balas Dafa. Iki jelas langsung mengangguk setuju. Lima belas menit berlalu, mereka memenangkan permainan. Dafa menaruh handphonenya lalu berjalan menuju dapur rumah Iki untuk mengambil minum. Rumah Iki memang selalu menjadi tempat ternyaman bagi kedua temannya, bagaimana tidak? Kedua orang tua Iki jarang sekali pulang karena sibuk dengan pekerjaan nya, Iki memang selalu kesepian, tak jarang ia menginap di antara rumah temannya.

“Anjir lucu banget calon pacar”, senyum Iki mengembang setelah membalas pesan Meyyi yang jelas tak suka membalas pesannya. Dafa melirik Iki dengan tatapan sendu. “Lo serius suka sama dia atau cuma penasaran sih?”, tanya Dafa. Iki menaruh handphonenya lalu menatap tatapan Dafa kembali. “Kenapa?”, bukan menjawab pertanyaan Dafa, Iki membalikkan pertanyaannya. “Enggak..”. Iki tersenyum kemudian menepuk bahu Dafa. “Gue mungkin bisa di bilang kalo ini baru kagum ke dia, tapi semakin lama nyatanya gue jatuh hati juga sama cewek se ngeselin dia,” jawab Iki dengan senyumnya. Dafa menurunkan tangan Iki yang masih menempel di pundaknya, ia menatap Iki serius. “Gue suka sama dia dari sebelum lo pindah ke sekolah itu.” Iki tersenyum. “Yaudah, toh dia juga belum jadi milik gue”, balasnya.

“Natasya Asila, anak kelas sebrang suka sama lo. Dia cantik. Lo mau tetep bersaing secara sehat sama gue atau lo mau kasih Meyyi buat gue dan lo respon si Tasya.”

“Daf, Meyyi bukan barang yang bisa seenaknya gue kasih ke lo. Gue tekenin sama lo. Dia juga gak akan mungkin segampang itu buat tertarik sama lo ataupun gue. Jangan buat gue kehilangan kesabaran gue.”

Ck. Liat aja nanti.”

Disekolah, Iki melupakan semua perkataan Dafa. Ia tetap terus menggoda Meyyi hingga Meyyi kesal sendiri. Bel istirahat, Meyyi keluar kelas untuk mendengarkan jokes Dafa yang garing itu. Iki mengulas senyumnya. “Apa kali ini gue harus relain lo demi jaga persahabatan gue sama Dafa?”.

“Bang ini meja nya Meyyi?”, tanya Aryo, teman kelasnya. Iki mengangguk. Aryo menaruh sesuatu di dalam laci meja Meyyi. “Itu dari siapa?”, tanya Iki. “Si Dafa”. Iki mengangguk kemudian tersenyum.

...

01.03Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang