CHAPTER 17-One March

7 2 0
                                        

And when I'm working
You're the only one that I want

“Cerita gue yang sebenarnya dimulai dari sini”

***

Tepat pukul dua belas malam Meyyi tidak bisa memejamkan matanya. Ia membuka tirai kamarnya lalu menatap bintang-bintang malam yang berserakan di langit yang begitu hitam. ‘Cantik’, pikirnya. Meyyi masih terbaring di kasur empuknya. Tapi matanya tidak luput dari keindahan malam itu. Melihat kedua temannya yang memilih untuk tidur di ubin kamar yang terbalut karpet berwarna abu-abu.

“Malam cantik ya? Pasti salah satu bintang itu adalah Mama kan? Mama lagi apa?”, tak terasa satu tetes air matanya jatuh. Ia mengusap wajahnya pelan. Ting... Ting...

Iki?
gue tau pasti lo belum tidur kan?
gue ada di rooftop rumah lo, tadi gue mau balik dan liat lo buka tirai kamar lo, makanya gue naik buat jagain lo

me
lo harusnya pulang, ini udah malem nanti bokap nyokap lo nyariin
lagian besok masih harus sekolah, buat liat ruang ujian nanti
lo blm ganti baju juga ya?
kita baru pulang main loh tadi

Iki?
sini ke rooftop rumah lo
temenin gue

Meyyi menghela nafasnya. Tidak ada salahnya ia menghampiri Iki di atas sana. Meyyi memakaikan Hoodie di tubuhnya. Lalu mengambil salah satu Hoodie berwarna hitam.

Meyyi melihat punggung Iki dari tempatnya berdiri. Ia mendapati cowok dengan bahu lebar itu sedang menatap kosong langit malam. Mungkin ini sudah pukul satu malam, pikirnya.

“Nih pake. Lo cuma pake kemeja, setipis ini?”, Meyyi melemparkan Hoodie nya pada Iki. “Mey..”, dengan lirih Iki menjatuhkan dirinya pada tubuh kurus Meyyi. “Lo kenapa?”, Hoodie yang Meyyi berikan sudah mengenai lantai rooftopnya. Meyyi dengan sigap menahan tubuhnya yang menopang tubuh besar Iki.

“Jangan pergi tinggalin gue kayak orang tua gue ya?”.

“Lo kenapa?”.

“Gatau kenapa, abis anter lo pulang tadi, gue selalu kepikiran lo. Gue takut Mey. Gue takut semua orang yang gue sayang pergi tinggalin gue. Gue takut semua kejadian dimasa itu terulang lagi. Gue takut lo pergi kayak mereka. Gue gamau Mey. Akhirnya gue balik lagi dan liat pergerakan lo dari bawah.” Wajah Iki sudah memucat, keringat dingin bercucuran di dahinya. Meyyi mengusap keringat yang membasahi wajah Iki. “Apa yang terjadi sama lo sampe lo se-lemah ini?”.

“Sampai detik ini gue gak pernah berkabar sama orang tua gue. Cuma nenek gue satu-satunya yang selalu perhatian sama gue, walaupun gue selalu menolak untuk tinggal di rumahnya. Rumah? Ga Mey. Rumah gue selalu berantakan. Seisi rumah gue ga pernah terlihat nyata walaupun lengkap, katanya. Gelap. Satu kata yang bisa mendefinisikan kehidupan gue.”

“Sampe gue temuin pelangi di hidup gue. Lo. Kedatangan lo yang buat hidup gue mulai berwarna. Merah, kuning, jingga dan banyak warna lain yang hiasi hidup gue. Tapi keberadaan lo menyakitkan buat gue Mey.” Wajah Meyyi berkerut, menganalisis semua perkataan Iki. “Lo terlalu sempurna untuk selalu gue genggam. Lo terlalu mencolok dari segi manapun sampe gue bingung apa yang buat diri lo jadi salah satu alasan utama gue masih berdiri di sini sekarang. Alasan gue masih terus menunggu. Menunggu kedatangan orang tua gue yang gue yakini akan datang di kemudian hari. Dan menunggu sesuatu yang mau gue selesaikan hari ini juga”.

“G-gue ga begitu sempurna untuk jadi alasan lo masih berdiri disini. Tapi makasih karena lo percaya orang tua lo akan balik lagi ke lo. Soal sesuatu yang mau lo selesaikan hari ini? Apa gue boleh tau?”, tanya Meyyi canggung saat menatap wajah Iki yang sendu. Iki mengulas senyum tipisnya. “Lo mau ga jadi cewek gue? Iya gue tau kesannya basi banget gue nembak lo kayak gini, tapi gue cuma mau lo jawab aja. Ya walaupun gue ga terima penolakan sih”. Wajah Meyyi memerah, sepertinya sudah sama dengan kepiting rebus. Meyyi menatap Iki sedikit sebal. “Lo kesini tuh buat bikin gue nangis karena cerita lo atau buat gue jadi patung kaya sekarang?”. Iki tertawa lalu mengusap kepala Meyyi pelan.

“Jadi, mau atau ga?”.

“Hmmm...”.

“Gue sih sebenernya udah tau jawabannya ya”.

“Apa?”.

“Mau kan?”.

“Ga. Gue minta maaf gue ga bisa”. Wajah Iki langsung memelas. Meyyi menaikkan wajah iki agar dapat menatapnya. “Gue bercanda kali. Iya gue mau”. Tampak sekali Iki langsung menyeringai lebar tapi langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Gak lucu”.

“Gue juga ga ngelawak ya”.

“Ya”.

“Ih males banget deh, yaudah ah gak jadi”.

“E-eh i-iya iyaa, maafin a-aku?”.

“Hah? A-aku? Hahahaha”.

“Ck. Berubah lah dikit”.

“Lo eh ka-kamu juga yang canggung duluan tapi marah duluan”.

“Lucu”. Dengan gemas Iki mengusap-usap kepala Meyyi. “Ih udah sana balik”, kesal Meyyi. Iki berkacak pinggang lalu menatap Meyyi. “Ngusir pacar nih?”, godanya. “IH UDAH SANA PULANG UDAH MALEM DANENDRA FAIKIII!”, teriak Meyyi. Iki segera mengangguk lalu mengambil Hoodie yang tadi diserahkan oleh Meyyi padanya. Mengambilnya lalu memakainya, menutupi tubuh yang kedinginan. Iki melambaikan tangannya sebelum masuk kedalam mobilnya.

Meyyi tersipu mengingat kejadian tadi. Ia meminum sedikit air dingin untuk menenangkan pikirannya yang tidak berhenti memikirkan Iki. “Aku kamu?”, Meyyi bergidik geli mengingat ucapannya dengan Iki di ubah menjadi aku-kamu.

Ceklek..

“Cieee jadian nihh”, goda Maya saat melihat Meyyi masuk ke dalam kamarnya dengan wajah yang masih merona. “Asik. Boleh kali nih kita tripple date”, sindir Reva yang terduduk di sudut ranjang sembari melihat kearah Meyyi yang mematung kaget.

“Apa sih?”, ucapnya.

“Hahaha kita liat, bucin gak ya dia?”.

01.03Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang