---
Pagi itu, Hera bangun dengan perasaan yang sedikit berbeda. Mungkin ini hanya perasaan sesaat, atau mungkin juga ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar sesuatu yang sulit ia pahami. Tetapi satu hal yang pasti, keheningan yang telah menyelimuti rumah selama beberapa hari mulai terasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena mereka semua mulai menyadari bahwa ketegangan itu tidak akan menghilang hanya dengan diam.
Hera duduk di meja makan, memandangi nasi goreng yang terhidang di depannya. Pagi ini, suasana rumah terasa sedikit lebih normal, meskipun di dalam dirinya masih ada rasa berat yang sulit hilang. Di sisi meja, Lutfian sedang mengunyah roti dengan ekspresi datar. Papa fokus menatap laptop didepannya, mama sibuk menyiapkan kopi untuk suaminya, dan Nala, yang entah mengapa tidak muncul di meja makan lebih awal, baru saja melangkah masuk dengan wajah penuh kemanjaan, seperti biasa.
“Aku nggak ngerti deh, Kenapa setiap kali ada masalah, kalian selalu ngelihatin aku seolah aku penyebabnya,” kata Hera, memecah keheningan. Suaranya lebih keras dari yang ia harapkan.
Hamka menatapnya tanpa berkata apa-apa, sedangkan Nindi menoleh dengan ekspresi cemas. “Nak, kita nggak bilang begitu kok,” kata Nindi pelan. “Kami cuma... Kami cuma pengin tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan.”
Hera mendengus. Ia merasa seperti hidup dalam dunia yang penuh dengan harapan, tetapi dirinya seperti terperangkap dalam labirin yang tidak bisa ia tembus. “Aku nggak butuh perhatian lebih, Ma. Aku cuma butuh waktu untuk sendiri, nggak lebih.”
“Apa kamu nggak mau mencoba berbicara tentang apa yang terjadi, Hera?” tanya Hamka, kali ini suaranya lebih lembut.
“Aku nggak bisa kalau semuanya cuma berputar di masalah yang sama terus-menerus,” jawab Hera, menatap piring nasi gorengnya, mencoba menghindari kontak mata. “Aku nggak tahu harus gimana lagi.”
“Masalahnya bukan cuma tentang kamu, Nak,” kata Nindi, kali ini suaranya penuh kekhawatiran. “Semua orang juga merasa kesulitan, termasuk Lutfian, termasuk Mama, Papa. Kami semua ingin mencoba memahami kamu.”
Hera menundukkan kepala, merasa lebih berat lagi. Ia tahu apa yang ibunya katakan ada benarnya, tetapi ia juga merasa terjebak dalam situasi yang sulit. “Tapi ini tentang aku, Ma. Semua ini berawal dari aku yang merasa nggak ada yang peduli. Semua perhatian itu pindah ke Nala, dan aku jadi kayak... orang asing di rumah sendiri.”
Keheningan kembali menghantui meja makan. Tidak ada yang tahu apa yang harus dikatakan selanjutnya. Namun, setelah beberapa saat, suara Mbak Lala terdengar dari dapur, memecah keheningan yang semakin pekat.
“Kalau boleh saya bicara, Bu, nak Hera...” Mbak Lala muncul di pintu dengan senyum lembut. “Kadang, masalah itu bukan tentang siapa yang lebih membutuhkan perhatian. Kadang, cuma tentang siapa yang bisa mendengarkan tanpa menilai.”
Nindi menatap Mbak Lala dengan bingung. “Maksud Mbak Lala?”
Mbak Lala melangkah mendekat, lalu duduk di meja, seolah tak ada yang istimewa. “Anak-anak seperti Nak Hera Den Lutfian, Nak Nala, mereka butuh ruang. Bukan hanya untuk merasa sendiri, tapi juga untuk tahu bahwa mereka nggak harus selalu berubah hanya untuk mendapatkan perhatian.”
“Lalu apa yang harus aku lakuin, Mbak?” tanya Hera dengan nada putus asa. “Aku nggak tahu gimana caranya supaya semuanya nggak berantakan.”
Mbak Lala tersenyum ringan. “Kadang, langkah pertama itu cuma meluangkan waktu untuk diri sendiri. Coba duduk, tarik napas, dan pikirkan apa yang kamu butuhkan, tanpa mendengarkan semua omongan orang.”
Hera terdiam. Kata-kata Mbak Lala sedikit membuka matanya, meski masih terasa samar. Ia tidak harus mengubah dirinya untuk mendapatkan perhatian atau kasih sayang. Mungkin, yang ia butuhkan selama ini adalah waktu untuk mencari dirinya sendiri.
Setelah sarapan selesai, Hera memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah, mencoba meresapi ketenangan yang langka. Mungkin itu cara terbaik untuk menyusun pikirannya.
Di luar, langit cerah dan udara segar mengalir lembut. Hera berjalan menyusuri halaman belakang rumah, menatap pohon-pohon yang tumbuh tinggi dan rindang. Beberapa waktu lalu, ia sering bermain di sini bersama Lutfian dan Nala, sebelum semuanya berubah. Tapi kini, ia merasa seolah-olah dunia di sekitarnya tak lagi sama.
Mungkin benar apa yang dikatakan Mbak Lala. Terkadang, kita perlu melangkah mundur sebentar untuk menemukan kembali arah yang kita tuju.
Hera duduk di bawah pohon besar, menutup mata, dan mencoba merasakan angin yang menyentuh kulitnya. Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, hanya terbenam dalam pikirannya sendiri. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih ringan.

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Genç KurguHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...