Bab 8. USG

105 13 0
                                    

Lia bangun di pagi hari dan seperti biasa dia akan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Saat membuka kulkas dia melihat sudah banyak bahan makanan. Lia bersyukur tapi dia juga merasa heran karena selama ini uang yang Romi berikan tidak akan pernah cukup untuk mengisi kulkas hingga penuh.

"Mulai sekarang Ibu yang mengurus bahan makanan dan keperluan dapur. Uang aku serahkan ke Ibu. Kamu gak usah mikirin apapun, terima bersih aja." Romi masuk ke dapur dan langsung memberitahu Lia saat dia melihat Lia sedang menatap kulkas.

"Iya bang." Lia tidak akan membantah, dia biarkan Romi melakukan sesuka hatinya asalkan pria itu masih bertanggung jawab atas dia dan calon anak mereka.

"Oh ya bang, hari ini jadwal kontrol kandungan. Abang temani ya sekalian kita mau USG."

"Abang gak sempat, pergi dengan ibu saja. Uangnya sudah abang berikan dengan ibu juga."

"Apa? Sampai biaya untuk kontrol kandungan ibu yang pegang. Ntar melahirkan juga uangnya dari ibu? Yang jadi istri kamu siapa sih?" Lia tidak habis pikir Romi menyerahkan semua pada ibunya seolah dia tidak percaya Lia bisa mengatur keuangan.

"Bagus kan, kamu gak perlu capek mikir. Lagian biar gak boros untuk beli barang yang gak berguna." Romi masih beesikeras dengan pendapatnya.

"Boros? Dari mana boros bang. Selama ini lebih banyak pakai uangku dan apa yang dibeli memang untuk keperluan rumah tangga. Abang kenapa bisa bicara begitu sih?" Lia mulai kesal. Emosinya memang tidak stabil selama dia hamil.

"Sudahlah, Ibu yang akan mengatur keuangan. Maksudnya juga baik biar kamu gak banyak pikir dan aku pun tenang. Aku akan bilang ibu kalau nanti menemani kamu kontrol kandungan." Romi berlalu.

Lia menarik nafas dan menghembuskan pelan. Menikah dengan Romi membutuhkan banyak kesabaran jika ingin pernikahan ini baik-baik saja.

***
"Ayo kita kontrol kandungan kamu. Romi tadi sudah berpesan sama ibu."

"Ayo bu kita ke rumah sakit." Lia sudah bersiap.

"Ngapain ke rumah sakit, mahal. Ke klinik bidan aja. Di sana juga bisa USG kan?"

"Aku ada dokter kandungan yang sudah tahu perkembangan kehamilanku. Prakteknya di rumah sakit. Kita kesana saja bu. Ini bukan hanya soal bisa USG atau gak." Lia tidak habis pikir mertuanya bisa berpikir soal biaya. Romi punya uang untuk membiayai kontrol kandungan dirinya tapi ibu mertuanya berkata seolah mereka tidak memiliki uang.

"Udahlah ke klinik saja. Dekat rumah sini juga ada. Ibu dulu waktu mengandung Romi aja gak pernah USG tapi Romi sehat." Narsih masih tetap tidak mau membawa Lia ke rumah sakit. Bahkan dia membandingkan dirinya dengan menantunya.

Lia menggelengkan kepalanya. Pantas saja suaminya sifatnya seperti itu. Kecacatan dari dalam kandungan, pikir Lia.

"Gak usah bu. Aku pergi sendiri saja." Tidak lama kemudian papanya menjemputnya bersama mamanya. Mereka akan mengantar Lia ke rumah sakit. Lia sudah memberitahu orang tuanya soal kontrol kandungan ini.

"Ibu pasti capek jadi ibu di rumah aja mengurus keuangan." Lia masuk ke dalam mobil sambil membawa tasnya.

"Lia, kamu tidak seperti ini. Romi akan marah sama kamu. Kamu mau bertengkar dengan Romi?"

"Lia tidak mau bertengkar tapi saat ini Lia butuh ketenangan dan kewarasan agar kehamilan Lia tidak bermasalah. Lia pergi dulu bu." Mobil melajukan meninggalkan Narsih yang terpaku di pinggir jalan.

Setelah mobil yang membawa Lia tidak terlihat lagi, Narsih segera menghubungi Romi dan memberitahu Romi. Romi segera pulang untuk mengetahui dengan pasti apa yang sudah terjadi.

***
"Apa yang terjadi bu?" Tanya Romi.

"Itu istri kamu. Gak baik, suka melawan."

"Lia kenapa bu?"

"Ibu mau temani dia ke klinik untuk kontrol kandungan dia malah mau ke rumah sakit. Mahal nak, ibu tahu itu. Lagipula di klinik juga bisa USG. Dia malah hubungi orang tuanya dan orang tuanya yang mengantar dia. Kesal ibu karena dia sudah kurang ajar begitu." Narsih terlihat marah.

"Nanti Romi bicara dengan Lia. Romi mau menyusul Lia dulu." Romi kemudian menuju ke rumah mertuanya. Dia tahu Lia pasti berada di sana setelah dia pulang dari rumah sakit.

Saat Romi datang, dia juga melihat Lia baru saja sampai bersama orang tuanya.

"Lia."

Lia melihat ke arah Romi tapi dia hanya diam.
"Bicara dengan suami kamu." Jayanto dan istrinya kemudian masuk ke dalam rumah.

Lia duduk di teras rumah bersama Romi.
"Kamu kenapa seperti itu dengan ibu? Ada apa sih Lia? Rumah tangga kita sepertinya bertengkar terus."

"Ya ampun bang. Baru datang udah ngajak berdebat. Abang gak penasaran dengan hasil kontrol tadi. Abang gak bisa bertanya bagaimana kabar calon anak kita. Luar biasa abang ya. Aku ini istri kamu gak sih? Abang gak kepingin lihat hasil USG calon anak kita?"

"Maaf, bagaimana dengan kandungan kamu?"

"Baik." Jawab Lia singkat.

"Jawab pertanyaan abang tadi. Kenapa kamu begitu dengan ibu? USG bisa di klinik kata ibu."

"Bang, ini bukan soal USG aja. Dokter  Diana adalah dokter yang sudah memeriksa aku dan tahu keadaan aku dari awal aku memeriksakan kandunganku. Aku gak mau pindah lagi. Jadi ini bukan soal USG aja, paham kan?" Lia menatap Romi.

Romi diam tapi dia dapat mencerna perkataan Lia. Dia tahu maksud Lia dan ibunya yang sudah salah paham.

"Abang minta maaf atas nama ibu. Ayo kita pulang."

"Gak bang, aku akan tinggal di sini. Aku butuh ketenangan dan kewarasan agar tidak ada masalah dengan kehamilanku."

"Gak bisa Lia, kita suami istri. Kenapa kita harus terpisah. Abang gak setuju."

"Bang, dengarkan aku. Aku butuh ketenangan. Aku gak mau setiap hari bertengkar dengan abang. Saat periksa tadi tekanan darahku sedikit tinggi. Dokter meminta aku tidak stres. Tolong ya bang, mengertilah. Abang bisa menemui aku di sini atau menginap di sini."

"Tekanan darahmu tinggi." Romi mendekati Lia dan menyentuh perut Lia yang mulai membuncit.

"Ya udah, abang akan sering kunjungi kamu tapi janji ya setelah melahirkan harus kembali ke rumah." Romi memeluk Lia.

"Iya abang. Masuk dulu yuk ke dalam. Kita makan siang dulu. Abang belum makan kan?"

"Ya udah ayo sayang."

Romi dan Lia makan siang bersama setelah itu Romi menemani Lia sampai sore. Dia tidak mau jauh dari Lia. Sore harinya Romi pulang setelah ibunya menghubungi dan meminta Romi pulang.

"Lia, abang pulang dulu ya. Besok pagi abang kemari lagi."

"Abang gak ke toko? Jangan sering tinggalkan toko bang. Jangan terlalu percaya dengan orang lain." Lia mengingatkan Romi.

"Tenang aja sayang, yang di toko masih sepupu aku. Keponakan almarhum bapakku. Aku percaya dengan dia."

"Ya udah kalau begitu." Lia hanya mengingatkan Romi saja. Dia tidak ingin Romi mengalami kesulitan atau masalah.

Romi mencium Lia dan segera pulang. Lia melambaikan tangannya.

Suami PelitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang