Bab 9. Hasutan Mertua

135 17 0
                                    

Romi memasuki rumah setelah tadi dia ke rumah mertuanya. Sudah beberapa hari ini Romi rela bolak balik agar bisa bersama istrinya. Saat dia masuk, dia melihat ibunya sedang berbicara dengan seorang gadis.

"Udah pulang nak, duduk dulu."

"Siapa dia bu?"

"Dia Lastri anaknya om Diro. Mulai hari ini akan tinggal di sini untuk membantu ibu. Istri kamu kan sedang gak ada dan gak mungkin mau bantu pekerjaan rumah juga jadi Lastri yang akan bantu ibu." Narsih memperkenalkan Lastri dengan penuh semangat.

"Tapi bu, Lia pasti akan marah dan gak setuju. Tanggapan tetangga juga akan beda. Aku statusnya suami orang masa ada gadis yang tinggal di rumahku dan tidak ada hubungan denganku." Romi gidak setuju.

"Jangan pikirkan itu. Ibu yang akan bicara. Lastri gadis baik-baik kok. Kamu ikuti aja apa kata ibu." Narsih tidak ingin di bantah.

"Ya sudahlah terserah ibu." Romi masuk ke kamarnya.

"Lastri, kamu buatkan kopi untuk bang Romimu. Bawa aja masuk ke kamarnya."

"Iya, Bik." Lastri membuatkan Romi kopi.

Di dalam kamar, Romi sedang menghubungi Lia. Tadi Lia mengirim pesan padanya dan minta Romi untuk membelikan dia martabak karena Lia sedang mengidam. Romi akan keluar kamar tapi berpapasan dengan Lastri.

"Bang kopinya."

"Nanti aja."

"Mau kemana kamu nak?" Tanya Narsih

"Lia minta belikan martabak, dia ngidam bu." Jawab Romi.

"Gak ada istilah ngidam. Jangan dibiasakan nak. Lagipula kamu jangan boros."

"Iya juga ya bu. Ya udah gak jadi." Romi kembali ke kamarnya.

***
"Bang kenapa semalam gak jadi belikan martabak. Aku kepingin bang. Aku maunya abang yang belikan." Lia langsung bertanya pada Romi saat Romi datang menemuinya.

"Boros tahu gak. Jangan suka jajan kamu tuh. Harus hemat, nanti melahirkan juga butuh uang." Dengan santainya Romi berkata seperti itu membuat Lia sedih.

"Bang, berapa sih harga martabak. Gak mahal kan? Aku kepingin bang tapi abang seenaknya bicara begitu. Kenapa sih abang pelit?"

"Lia! Beraninya kamu bilang abang pelit. Bagaimana pun abang masih beri kamu nafkah biarpun gak besar jumlahnya."

"Lima belas ribu jadi apa bang di kalimantan ini. Dari belum punya toko sampai punya toko, abang memang pelit. Kalau abang tersinggung berarti abang merasa apa yang aku katakan benar." Lia duduk membelakangi Romi.

"Berani kamu ya bicara seperti itu sama abang. Emang gak ada sopannya kamu sama suami. Melawan terus kerjaan kamu. Bosan abang lihatnya. Jangan pakai alasan hamil kamu mau boros ya. Kamu punya uang sendiri kan jadi pakai saja uangmu kalau untuk boros." Bukannya membujuk Lia, Romi malah semakin membuat Lia kesal.

"Jadi abang anggap beli martabak boros ya. Abang anggap aku manfaatkan kehamilan aku gitu. Tapi mengapa dengan ibu agak gak pelit?"

"Jelas beda Lia, Ibu itu adalah orang tuaku dan aku berbakti padanya. Kamu istriku dan kamu harus patuh padaku. Aku pemimpin di dalam keluarga kita."

Lia tidak percaya dengan jalan pikiran Romi. Papanya saja tidak seperti itu. Saat mereka masih pacaran dulu, Romi tidak seperti ini.

"Abang harus ke toko. Ini uang untu kamu hari ini." Romi meninggalkan uang lima belas ribu rupiah.

Lia memejamkan matanya berusaha menahan emosinya. Diambilnya uang itu dan di masukkannya ke dalam sebuah bekas kaleng roti. Dia tidak mau repot-repot membeli celengan.

Suami PelitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang