Bab 7. Ide Mertua

133 14 1
                                    

"Sayang, ini uang belanja hari ini dengan besok. Abang mau ke tempat ibu. Lusa abang pulang ya." Romi menyerahkan uang tiga puluh ribu rupiah. Berarti per hari hanya lima belas ribu.

"Aku sepertinya bisa buat konten nih judulnya lima belas ribu di tangan istri yang lemah." Lia berlalu meninggalkan Romi.

"Lia." Romi hanya bisa menghembuskan nafas. Lia pasti tidak terima dengan uang belanja yang dia berikan.

Romi mengejar Lia dan menahan tangan Lia.

"Maaf ya, abang hanya bisa berikan segitu. Abang pergi dulu ya." Romi mengecup kening Lia tapi Lia hanya diam.

Romi melajukan motornya meninggalkan rumah. Setelah Romi pergi, Lia ke rumah orang tuanya. Dia masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke dapur. Lia memeluk ibunya yang saat ini sedang memasak.

"Nak, kenapa? Romi mana?"

"Pergi ke rumah Ibu, lusa baru pulang. Lia di sini ya selama Romi gak ada."

"Kenapa harus izin, inikan rumah kamu juga." Anita mengacak rambut Lia pelan.

"Ma, buatkan sup daging ya? Lia kepingin banget." Selama Romi tidak ada, Lia akan meminta ibunya untuk memasakkan makanan kesukaannya.

"Iya nak, sekarang kamu ke kamar aja. Istirahat di kamar nanti mama panggil kalau udah masak."

"Iya." Lia menuju ke kamarnya.

***
Romi memasuki rumah orang tuanya. Perjalanan tiga jam mengendarai motor membuat tubuhnya lelah.

"Ibu." Panggilnya dan mencari sosok ibunya di dapur.

Dia melihat wanita tua itu sedang memasak.

"Ibu."

Narsih melihat ke belakang dan tersenyum saat melihat Romi. Dia mematikan kompor dan mengajak Romi duduk di kursi meja makan.

"Ibu buatkan kopi." Narsih menyeduh kopi kemudian menghidangkannya.

"Makasih bu."

"Mau makan dulu apa kamu mau mandi dulu?"

"Makan aja dulu bu, Romi udah lapar."

"Ibu siapkan dulu."

Romi diam sambil melihat ibunya menghidangkan makanan untuknya. Setelah terhidang dia langsung makan.

"Setelah makan istirahat aja. Nanti malam baru kita bicara."

Romi menganggukkan kepalanya.

***
Narsih keluar rumah dan melihat Romi sedang duduk di teras sambil merokok.

"Jangan banyak merokok." Narsih duduk di samping anaknya.

"Ibu mau bicara apa?" Romi mematikan rokoknya.

"Hubungan kamu dengan Lia bagaimana?"

"Baik bu, kami tinggal di samping rumah papa mama."

"Ibu kurang suka dengan keluarga Lia. Terlalu meremehkan kita. Ibu sadar kerjaan kamu juga masih serabutan tapi mereka selalu ingin ikut campur. Ibu sudah putuskan dan kamu gak boleh membantah." Wajah wanita itu terlihat serius.

"Keputusan apa bu?"

"Almarhum bapakmu masih punya peninggalan tanah dan kebun. Kita jual tananhnya dan soal kebun bisa kita jual atau kita kelola dan menikmati hasilnya. Kamu cari rumah dan buka usaha. Tunjukkan sama mertua kamu itu kalau kamu bisa berhasil dan kita bukan orang miskin."

"Tapi bu, kita gak harus jual tanah atau kebun. Memang Romi yang kurang baik dan kurang beruntung dalam pekerjaan."

"Udah jangan banyak merendah. Kita jual tanah dan kebun saja. Kamu buka usaha, beli rumah juga. Biar mertua dan istri kamu tidak merendahkan kamu." Narsih terlihat sangat kesal.

Wanita tua itu sudah salah paham dan terlalu membela Romi. Karena itu Romi manja dan tidak gigih dalam bekerja. Padahal Lia selama ini juga tidak pernah menuntut.

Romi memenuhi permintaan ibunya. Bukan hanya tanah dan kebun tapi rumah juga dia jual. Narsih sebagai ibu juga setuju demi harga diri anaknya. Dia sudah tidak bisa bijak lagi.

***
Awalnya Romi hanya tiga hari di sana tapi karena dia harus mengurus penjualan rumah, kebun dan tanah, dia baru kembali pulang setelah dua minggu.

"Abang." Lia menyambut kedatangan Romi dan terkejut saat melihat ibu mertuanya juga datang.

"Ibu." Lia menyambut ibu mertuanya dan memberikan salam.

"Mulai sekarang, ibu ikut kita. Rumah di kampung sudah dijual. Kita akan pindah ke rumah baru. Abang sudah menentukan mau membeli rumah yang mana."

"Kenapa mendadak bang?"

"Gak ada yang mendadak. Kamu gak senang ibu ikut kalian? Romi anak satu-satunya." Narsih tersinggung dengan pertanyaan Lia.

"Bukan begitu bu tapi bang Romi sebelumnya gak ada bicara apa-apa." Lia berusaha menenangkan mertuanya. Dia malas bertengkar apalagi energinya terasa terkuras selama kehamilannya ini.

"Udahlah, kamu ikuti kata abang." Romi masuk ke kamar diikuti oleh Lia.

"Bang,kita beneran mau pindah rumah. Abang beli rumah di mana? Kenapa harus jual tanah, rumah dan kebun di kampung?" Lia penasaran.

"Ibu yang suruh, dia mau aku buka usaha aja jangan kerja serabutan terus. Soal rumah, aku beli rumah di pusat kota juga." Romi berbicara sambil membuka pakaiannya. Dia memberikan pakaian bekasnya pada Lia dan Lia meletakkannya di keranjang tempat baju kotor.

"Rumah di pusat kota mahal bang."

"Kamu ngerendahin abang dan berpikir abang gak mampu beli?" Kali ini Romi merasa tersinggung.

"Gak ngerendahin, sayang aja uangnya. Selama ini aku minta uang belanja aja hanya lima belas ribu. Mau beli rumah mewah, apa gak sayang uangnya sedangkan untuk kebutuhan sehari hari aja abang perhitungan." Lia menyindir Romi.

"Kenapa? Kamu gak terima. Di mana-mana itu istri harus patuh. Kamu lihat aja nanti, rumah aku akan lebih mahal. Aku akan penuhi kebutuhan kamu. Aku akan beli mobil, motor dan kamu bebas pakai tapi semua masih atas namaku. Entar kamu boros lagi."

Lia berlalu menuju ke kamar mandi sambil menggelengkan kepalanya. Ternyata sifat asli Romi keluar. Selama ini pria itu takut jika dia boros. Apa karena itu uang belanja hanya lima belas ribu. Ternyata uang belanja sedikit bukan karena uang Romi yang tidak banyak tapi karena pria itu perhitungan lebih tepatnya pelit.

***
Jayanto hanya diam saaf melihat menantu dan putrinya pindah ke rumah baru. Jayanto hanya khawatir pada putrinya. Dia tidak ingin putrinya tidak bahagia. Soal Romi, dia sebagai mertua sudah bisa membaca sifat asli Romi. Bagaimana pun Jayanto akan mengawasi dari jauh. Selama putrinya bahagia dan masih tetap bertahan dengan Romi maka dia hanya bisa memberikan dukungan.

Romi mengendarai mobil yang dia beli. Tidak ada lagi naik motor seperti dulu. Dia bahkan melarang Lia membawa mobil pribadinya. Romi beralasan bahwa sekarang dia yang akan menyediakan keperluan untuk keluarga mereka. Lia tahu harga mobil ini cukup mahal dan saat Romi memasuki kawasan perumahan cluster yang cukup terkenal karena harganya yang mahal. Lia jadi penasaran, berapa banyak uang yang Romi dapat dari menjual aset keluarganya.

Selain itu dia juga kurang yakin dengan usaha yang akan Romi rintis. Bukannya tidak mendukung tapi Romi tidak pernah punya pengalaman berdagang. Suaminya itu akan membuka toko kain.

"Ini rumah kita sayang. Besar dan pastinya mewah. Kita akan betah di sini. Lingkungannya juga nyaman dan aman. Ibu juga pasti akan betah." Romi masuk ke dalam sambil menggandeng Lia.

Lia melihat rumah itu sudah diisi perabotan dan siap dihuni.

"Oh iya, kamar ibu yang di bawah. Kamar utama, lebih besar karena ibu butuh istirahat dan tempat yang nyaman. Kamar kita di atas."

Lia tidak protes karena rumah ini rumah Romi. Suaminya itu selalu mengatakan itu. Suaminya berkata bahwa Lia boleh menikmati semua fasilitas tapi tetap pemiliknya adalah Romi. Suaminya seolah membagi hak yang ada.

Suami PelitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang