Bab 17. Undangan Pernikahan Mantan

139 9 0
                                    

"Terima kasih Pak." Dita mengucapkan terima kasih kepada asisten dari Satria yang mengambil pakaian para bridesmaid.

"Sama-sama Mbak. Oh iya, ini undangan pernikahan Pak Satria. Datang ya bersama suami dan keluarga. Pak Satria mengundang seluruh keluarga Mbak."

Dita mengambil undangan yang terbuat dari akralik itu. Dia membacanya kemudian tersenyum.

"Terima kasih sekali lagi. Saya dan suami akan hadir."

Setelah itu asisten dari Satria pergi. Romi masuk ke dalam toko.

"Yang tadi asisten orang kaya itu kan? Udah beres ya baju untuk bridesmaidnya? Mana uangnya?" Yang ada di pikiran Romi hanya uang.

"Itu di laci." Jawab Dita sambil dia kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Kenapa cuma segini?"

"Apanya yang cuma segini. Kan sesuai dengan harga kain yang diambil. Gak ada yang kurang."

"Upah jahitnya mana?"

"Gak ada. Upah jahit hak aku jadi gak akan aku berikan ke abang. Aku berikan hasil penjualan kainnya aja. Kalau abang merasa keberatan karena udah membelikan aku mesin jahit ini, aku kembalikan mesin jahitnya. Aku akan bawa mesin jahit lamaku." Dita kali ini tidak akan mau mengalah apalagi demi pria seperti Romi.

Romi diam tapi kemudian dia keluar dari toko. Sekitar satu jam lelaki itu kembali lagi membawa seorang pria.

"Ini mesin jahitnya." Romi berkata sambil menunjuk ke arah mesin jahit.

Dita yang sedang menjahit menjadi bingung. Dia menghentikan pekerjaannya.

"Ada apa bang?"

"Mesin jahitnya aku jual,lumayan jadi duit. Kamu kan gak butuh. Mesin jahit kamu yang lama masih ada."

Dita menggelengkan kepalanya, ternyata Romi benar-benar menjual mesin jahit ini. Tidak menyangka jika Romi seperhitungan ini.

Mesin jahit segera diangkut ke atas mobil mobil pick up. Romi menerima beberapa lembar uang. Dita menghubungi temannya agar membantu dia membawa mesin jahit lamanya ke toko. Dia butuh karena ada banyak pesanan baju yang harus dijahit.

***
"Undangan apa nih?" Romi bertanya karena melihat undangan pernikahan Satria ada di atas meja.

"Pak Satria mengundang kita sekeluarga untuk hadir di pesta pernikahannya."

"Satria dan Lia," Ucap Romi pelan. Hatinya mulai galau karena membaca nama Lia di  sana. Mantan istrinya itu akan menikah dan dia jadi tidak rela. Bukan karena masih ada rasa tapi karena dia kalah dari Lia. Dia pecundang padahal dia ingin menang dari Lia.

"Kita datang ya bang, ajak Ibu juga. Pak Satria ini langganan aku. Sudah banyak dia dan karyawannya minta dijahitkan bajunya sama aku atau sama mamaku." Dita tidak tahu jika Lia adalah mantan istri Romi. Romi tidak pernah cerita tentang hal itu.

"Iya kita pasti pergi." Romi penasaran seperti apa Satria. Dia ingin melihat sebahagia apa Lia sekarang. Romi tidak suka jika Lia bahagia apalagi bukan dengan dirinya. Keegoisan dia muncul karena merasa kalah dari Lia.

***
Hari ini Romi dan Dita akan pergi ke pesta pernikahan Lia. Ibunya Romi tidak ikut karena wanita itu sedang keluar kota. Romi menggunakan pakaian terbaiknya karena ingin menunjukkan pada Lia bahwa dia baik-baik saja.

Dita tidak mencurigai sikap Romi karena dia tidak tahu bahwa Romi dan Lia pernah menikah.

"Bang, mana uang untuk amplopnya?"

"Ini." Romi memberikan selembar uang lima ribu rupiah.

"Ya ampun abang, yang benar aja. Masa lima ribu sih. Gak ada yang beri amplop dengan uang sebesar ini." Dita tidak habis pikir.

"Cuma amplop kenapa harus beri uang banyak. Mereka juga udah kaya."

"Bang, resepsinya di hotel. Untuk biaya konsumsi di sana aja berapa. Kita sebagai tamu harus tahu dirilah walaupun mempelainya tidak meminta seperti itu. Kita berdua udah pasti makan dua piring."

"Ah bacot, lima ribu cukup. Mau pergi gak? Gak ada habisnya berdebat." Romi mulai kesal.

"Ya udah." Dita masukkan uang ke amplop tapi saat Romi sudah terlebih dahulu keluar kamar, Dita mengeluarkan uang lima ribu itu dan menggantonya dengan  uang seratus ribuan.

"Ayo kita pergi." Romi berteriak, dia sudah menunggu di depan rumah.

Dita keluar rumah dan langsung menghampiri Romi. Mereka naik motor menuju ke tempat resepsi. Sesampainya di sana, Romi merasa tidak percaya diri karena tamu yang hadir hampir semuanya menggunakan mobil. Jika ada yang naik motor, motor yang digunakan adalah motor baru bukan butut seperti miliknya.

"Ayo bang masuk."

Romi masih diam sambil melihat ke arah hotel berbintang itu. Mereka masuk ke dalam dan naik ke lantai tujuh. Keluar dari lift, mereka di sambut dengan para penerima tamu.

Dita mengisi buku tamu dan mereka diberi gelang yang akan ditukar dengan suvenir saat pulang nanti. Mereka menyalami para penerima tamu dan sebagian adalah keluarga Lia yang pasti mengenal Romi. Mereka memasang wajah tidak suka saat melihat Romi. Romi hanya diam dan pura-pura tidak mengenal mereka.

Mereka berdua memasuki ballroom hotel itu. Sudah banyak tamu yang datang. Makanan dan minuman berderet dan para tamu bebas memilih. Musik romantis dimainkan dan menambah suasana romantis.

Setelah mengambil makanan, Romi dan Dita duduk di kursi yang letaknya di dekat sebuah pilar. Dari sana Romi bisa melihat ke arah pelaminan dan semua area ruangan ini.

Wajah Lia yang terlihat bahagia dan selalu tersenyum dapat Romi lihat dengan jelas. Mantan istrinya itu semakin cantik dan pria yang ada di sebelahnya. Dia adalah Satria, pria mapan, kaya raya yang sudah mengambil hati Lia. Jika dilihat maka jelas ada perbedaan mencolok antara Romi dan Satria. Romi jadi tidak percaya diri karena dia bukan pria mapan. Harga baju yang dia pakai sekarang bahkan tidak sampai setengah dari harga baju Satria. Keluarga Lia pasti bangga karena mendapatkan menantu seperti Satria.

Romi melihat seorang perempuan menggendong seorang anak lelaki kecil  ke arah pelaminan. Saat melihat wajah anak itu, hati Romi tergerak. Anak itu adalah putranya tapi apakah dia pantas mengakuinya setelah dia menolaknya. Dia berkata pada Lia bahwa anak itu bukan anaknya.

"Bang kenapa diam? Ayo makan, kita harus segera pulang." Dita menyikut tangan Romi.

"Eee iya." Romi melanjutkan makannya tapi pikiran sudah kacau. Harusnya dia tidak datang kemari.

Akhirnya tiba saatnya Romi dan Dita memberikan selamat untuk kedua mempelai. Mereka mengantri sampai akhirnya Lia melihat Romi.

"Pak Satria selamat ya. Bu Lia selamat ya." Dita memberikan selamat.

"Terima kasih mbak Dita. Ini suaminya ya?" Tanya Satria. Padahal Satria tahu siapa Romi. Lia sudah banyak bercerita bahkan menunjukkan foto Romi agar Satria mengenal pria itu jika sampai mereka bertemu.

"Iya Pak."

"Selamat Pak Satria dan Bu Lia." Romi mengucapkannya dengan canggung.

"Terima kasih." Satria membalasnya.

Lia hanya tersenyum, dia tidak berbicara sedikit pun. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang tua Lia. Saat Romi dan Dita bersalaman dengan mereka, mereka hanya tersenyum tipis. Mereka malas melihat Romi karena sudah sangat mengecewakan.

"Wah bang, lihat. Hebat ya suvenirnya mahal begini. Udah gitu selain dapat mangkok satu set juga dapat kue lapis satu cetak."

Romi mencibir, dia kesal karena melihat betapa Satria sangat hebat. Pesta pernikahannya saja semeriah, semewah dan sebesar ini sedangkan dia sendiri tidak pernah bisa seperti itu.  Mau pamer juga tapi Romi tidak punya hal yang bisa dia pamerkan atau banggakan. Romi terus diam sampai mereka pulang ke rumah.

Suami PelitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang