Sam POV
Ku lihat arloji berwarna perak pemberian Eric masih menunjukkan pukul 5 pagi. Langit masih benar-benar gelap memberiku isyarat untuk tidak memulai aktivitas. Aku masih meringkuk di balik selimut dengan nyaman. Dan semua kejadian di rumah Grace masih membuat pikiranku gamang.
Apa aku cemburu saat Eric mencium pipi Grace? Apa semua perhatian Eric yang aku rasakan selama ini hanyalah kasih sayang seorang kakak pada adiknya? Atau Eric sengaja melakukan itu semua untuk menguji cintaku padanya?
"Oh ayolah Sam, kau harus sadar bahwa kau lelaki dan Eric juga lelaki sama seperti denganmu. Tak ada masa depan untuk kalian" kata otakku. Aku menjambak-jambak rambutku untuk menghentikan pikiranku. Aku mendesah lelah. Lalu aku kembali terjebak dalam pikiranku lagi.
Kemarin, saat Gilbert datang, Grace sangat bahagia. Matanya berbinar seperti permata yang memantulkan cahaya berkilauan. Sikap yang ditunjukkannya itu sangat jauh berbeda saat aku dan Eric datang. Tapi yang membuatku masih bingung adalah Gilbert yang datang dan menatapku lama. Dan saat itu pula ku lihat ada kecemburuan di mata Eric dan Grace. Jika mereka adalah sepasang kekasih, lalu kenapa mereka harus cemburu saat Gilbert menatapku penuh arti?
"Sepertinya aku harus segera mandi agar aku dapat berpikir jernih kembali" batinku seraya melangkah ke kamar mandi.
Setelah badan dan pikiranku terasa segar, aku melanjutkan aktivitas untuk menyiapkan keperluanku selama liburan dadakan yang telah kami berempat setujui. Eric mengajak aku, Gilbert dan Grace untuk berlibur ke villa milik Abi di Waterford.
Setelah semua siap, aku keluar kamar menuju dapur bermaksud membuat kopi dan susu untuk seisi rumah ini.Pppllluuukkk...
Aku merasakan ada sesuatu yang jatuh di pundakku saat baru saja keluar dari kamar. Ada seekor cicak, dan aku segera menepisnya.
"Astaga. Pertanda buruk apakah ini?" lirihku saat teringat kata-kata Ibuk. "Jika ada cicak yang jatuh mengenai dirimu, maka kamu akan mendapatkan kesialan di hari itu".
Kata-kata Ibuk memberikan sugesti pada diriku hingga aku menjadi pemuda klasik yang percaya mitos-mitos kecil seperti ini. "Semoga tak ada kesialan untuk hari ini" batinku sambil terus melangkah ke arah dapur.
"Selamat pagi Papa" sapaku saat kulihat Papa sedang menyeduh air untuk membuat kopi dan susu. "Selamat pagi Sam". "Bolehkah Sam membantu membuatkan sarapan untuk kita semua?" tanyaku penuh harap. Papa mengangguk kecil.
"Papa siapkan bahan-bahannya dulu. Tolong kau tuangkan air panas itu ke gelas" pinta Papa. Aku mengangguk mantap dan mulai menuangkan air mendidih ke gelas yang telah berisi kopi dan susu.
Kkkrrraaakkk...
Ku lihat salah satu gelas retak. Saat aku bermaksud memindahkannya, gelas itu terbelah dan air panas berhasil mengalir di telapak tangan kiriku.
"Aaauuuhhh" pekikku. Dengan reflek tanganku melepaskan genggamannya, dan pecahan gelas sukses membuat kakiku berdarah karena goresan tajamnya.
"Astaga, Sam. Apa kau baik-baik saja?" sahut Papa saat melihat tangan kananku sedang sibuk menghentikan darah dari kakiku dan tangan kiriku sengaja kurendam di tempat cucian piring.
"Eric, tolong ambilkan kotak P3K. Kaki Sam berdarah" teriak Papa dari bawah tangga. Tak lama kemudian Eric turun dengan tergesa-gesa.
Dia terlihat sangat cemas. "Sam, apa yang terjadi?" tanyanya panik. Dengan cekatan, Eric membopong tubuhku dan merebahkan diriku di sofa ruang keluarga.
"Kalau kau tak bisa membuat kopi, tak usah memaksakan dirimu" katanya seraya membersihkan luka di kakiku. Aku hanya mematung dan memandanginya membersihkan lukaku. Aku tersenyum kecil saat menatap ekspresi kekhawatirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Little Brother
RomantizmSam, seorang pemuda tampan, pengertian dan sabar. Salah satu tipe orang yang sensitif pada janji, dia akan benar-benar marah saat ada orang yang mengabaikan janjinya. Eric, seorang eksekutif muda nan rupawan, dengan banyak kesibukan. Ia memiliki ban...