{26}

5.4K 389 78
                                    

Ovan POV

Aku dan Radith keluar dari peron stasiun dengan santai. Awalnya aku ingin mencari taksi, namun saat mataku menelisik setiap sudut beranda stasiun ini, aku menangkap sosok yang sangat ku sayangi, Papa. Lelaki di awal usia 50an itu tengah berdiri dengan tegap. Rambutnya yang mulai memutih, nampak kontras dengan iris mata birunya. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas ke tempat ia berdiri.

"Papa, kenapa papa memaksakan diri untuk menjemput Ovan dan Radith?" tanyaku pada Papa.

"Tak apa Ovan. Ini adalah bentuk penghormatan Papa pada menantu Papa yang rela jauh-jauh dari Indonesia untuk bertemu dengan Papa" jawab Papa dengan mantapnya.

"Dimana dia?" tanya Papa.

"Itu Pa, dia berdiri disana" jawabku seraya menunjuk sosok Radith yang berdiri mematung di samping koper kami.

"Kemarilah nak" sapa Papa sambil melambaikan tangan pada Radith agar kekasihku itu mendekat.

Radith yang melihat ajakan Papa pun mulai berjalan mendekat. Bisa ku lihat bahwa ada sedikit kecanggungan saat ia berjalan ke arah kami.

"Ik Pieter, Pieter Alfarose. En je bent Radith" kata Papa saat Radith tepat berada di depan kami. Radith mengernyitkan dahi dan ia menatapku untuk mencari penjelasan.

"Hahaha...pasti kamu tidak paham apa yang saya ucapkan. Saya Pieter Alfarose, Papanya Ovan. Dan kamu pasti yang bernama Radith kan, menantu Papa" kata Papa dalam Bahasa Indonesia yang fasih.

"Anda bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia?" tanya Radith tak penting.

"Ya, tentu saja. Mamanya Ovan adalah orang Indonesia, jadi saya juga harus fasih berbahasa Indonesia, Radith. Oya, mulai sekarang panggil saja Papa jangan sungkan ya nak".

"Baik Papa".

"Bagus, selamat datang di keluarga kami nak. Oya sebaiknya kita segera ke mobil".

"Papa kesini bersama siapa?" tanyaku.

"Tentu saja dengan kakakmu, Octavian. Siapa lagi?" jawab Papa.

Mendengar namanya saja, amarahku mulai tersulut. Wajahku memerah karena amarah yang mulai mencapai ubun-ubun dan aku sudah mengepalkan tanganku untuk bersiap-siap menghajar Vian.

"Ovan, tahan amarahmu. Bagaimana pun juga, kita harus membicarakan semuanya dengan kepala dingin, Sayang" lirih Radith yang berjalan di sampingku.

"Tapi aku sangat kecewa padanya" balasku sambil berbisik agar Papa yang berjalan di depan kami tak mendengar apa yang sedang kami bicarakan.

Radith mulai membuka kepalan tanganku dan ia mulai menelusupkan jari-jarinya di sela-sela jariku kemudian menggenggamnya dengan erat. Ku rasakan ketenangan mulai menjalari tubuhku. "Api tak perlu dibalas dengan api. Api harus dipadamkan dengan air. Ini semua bukan sepenuhnya kesalahan Vian, insiden itu terjadi saat dia sedang dalam pengaruh alkohol. Kita harus menanyakannya baik-baik Ovan".

Entah mengapa rasanya ucapan Radith membuatku tersadar dan mulai bisa mengendalikan emosiku kembali. Detik itu juga ku eratkan genggaman jariku di jari-jari Radith. Senyuman mendamaikan tersungging di wajah kekasihku. "Terima kasih Sayang" ucapku seraya mencium kening Radith.

"Ovan, ini masih di depan umum nak. Tak baik mengumbar kemesraan seperti itu" tegur Papa yang memergoki apa yang baru saja ku lakukan pada Radith.

"I am sorry..." jawabku sambil memberikan sebuah cengiran. Dan ku lihat wajah Radith sudah berubah seperti kepiting rebus, merah merona karena malu.

Tak lama kemudian kami sampai di depan mobil Maybach milik Vian. Yang empunya mobil sedang bersandar di tepi mobil menunggu kami. Tubuhnya yang bersandar dengan santai kembali tegap saat kami berada di depannya. Dan tanpa aba-aba, Vian mendekap erat tubuhku. Aku hanya terpaku, mencoba menerka-nerka apa yang sedang terjadi.

My Beloved Little BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang