Damian POV
"Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata" ----- Bung Karno, 1933.
Kutipan dalam rentetan catatan sejarah yang tertata rapih di rak buku ruang baca ini telah menjadi senjata ampuhku untuk menghilangkan rasa sakit dalam hati. Kadang terus bertahan dengannya akan memberi dampak yang lebih besar daripada membiarkannya pergi.
"love is like a sand in the hand, the more you keep it, the more you loose it"
"Ian, kau bisa bahagia. Masa depan telah menyapamu untuk siap kau arungi. Let him go, Ian. Biarkan dia pergi untuk bahagia" kata hatiku. Tapi mataku masih tak bisa merelakannya, mataku masih mengucurkan air mata untuk dirinya.
"Ian, Alisha sudah datang sayang" teriak mama dari ruang keluarga. Aku cepat-cepat menghapus air mata dan meminum segelas air putih yang sedari tadi menemaniku menghabiskan waktu.
"Iya Ma. Sebentar Ian beresin dulu buku-bukunya" jawabku sambil berteriak untuk menyamarkan suara serakku. Setelah meletakan kembali buku yang tadi kubaca, aku segera bergegas ke kamar mandi ruang baca untuk membasuh wajahku agar mata sembabku tersamarkan.
Kutatap lurus cerminan diriku yang terliat sangat kacau. Kuambil obat tetes mata untuk menghilangkan serat-serat merah yang meliputi bola mataku. "Apa kau puas Radith? Lihatlah diriku benar-benar hancur karenamu" umpatku dalam hati.
Tidak. Aku tidak boleh mengingatnya lagi. Radith pasti sudah bahagia bersama Ovan. Ya mereka pasti sudah bahagia. Sedetik kemudian, kilatan ingatan tentang Radith mulai terputar dengan jelas dalam otakku. Canda tawanya saat bersamaku, senyuman manisnya hingga Radith yang lemas terbaring di ranjang rumah sakit saat dia sedang kambuh.
"Ya Tuhan. Apa salahku hingga Kau menghukumku seperti ini?" tanyaku dalam hati.
"Ian, apa kau baik-baik saja?" tanya Alisha yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Aku mengangguk kecil dan memaksakan sebuah senyuman kecil dengan maksud menghilangkan kekhawatiran Alisha. Wanita cantik di sampingku ini membalas dengan senyuman indahnya.
Kulihat kandungan Alisha semakin membesar, sebulan berlalu dengan cepat tanpa kusadari. Hari pernikahan kami sudah semakin dekat, kurang dari seminggu lagi.
"Al, menurutmu apakah kita sendiri yang harus mengantarkan undangan pernikahan ini pada Radith dan Ovan?" tanyaku.
"Sebaiknya kita yang menyerahkannya langsung Ian. Mereka adalah orang spesial dalam hidup kita" jawabnya.
Aku mengangguk kecil dan segera merapihkan pakaianku. "Kita berangkat sekarang?" tanyaku lagi. Alisha mengangguk mantap. "Yap, sebaiknya kita bergegas. Radith dan Ovan sedang di Grand Mall Indonesia" lanjutnya.
"Bagaimana kau bisa tahu mereka berada di sana?" tanyaku penasaran. "Aku baru saja mengirim pesan singkat pada Ovan. Dan dia memberi tahuku bahwa mereka akan menonton film di sana" jawab Alisha. "Baiklah" sahutku.
Aku dan Alisha segera menuju mobil Honda Jazz warna hitamku. Tak perlu menunggu lagi, aku mulai menginjak pedal gasnya dan mobilku melaju dengan kecepatan menengah di jalanan yang agak lenggang.
"Apa kau sudah siap?" tanya Alisha. Sepertinya dia ingin meyakinkanku lagi.
"Aku sudah siap Al. Aku akan menjelaskan semuanya pada Radith. Aku tak ingin membuatnya bertanya-tanya apa alasanku melakukan ini semua" jawabku. "It's okay Ian. Kita bisa melakukannya. Aku yakin Radith dan Ovan akan mengerti" sahut Alisha seraya menggenggam erat tangan kiriku.
Aku mengangguk pelan dan kembali fokus pada jalanan. Setengah jam kemudian kami sudah berada di area parkir Grand Mall Indonesia. Aku dan Alisha segera bergegas ke Blitz Megaplex. Mataku sedikit memicing mencari sosok Radith, namun tak kutemukan keberadaannya di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Little Brother
RomansaSam, seorang pemuda tampan, pengertian dan sabar. Salah satu tipe orang yang sensitif pada janji, dia akan benar-benar marah saat ada orang yang mengabaikan janjinya. Eric, seorang eksekutif muda nan rupawan, dengan banyak kesibukan. Ia memiliki ban...