Feyra 41 : akhir dari penyesalan

901 32 24
                                    

"tak ada duka yang lebih pedih selain duka kehilangan, namun sepedih apapun duka kehilangan, tidaklah lebih sakit dari rasa kehilangan yang dibarengi dengan penyesalan tak berujung."

****

Amelia berjalan dengan langkah lemah, di belakangnya—sang ibu  mengikuti dengan Isak tangis.
Semakin mendekat, semakin pecah pula tangisan pilu dari mulut amel.
Ranty pun sama terpukul nya. Ia menangis meraung—bersimpuh di sisi pusara.
Tangan nya menyentuh nama yang tertulis di sana.

"Lihat mah ... Anak yang mama benci. Udah gak ada ... Dia udah hilang, mah ... Sesuai dengan keinginan mama ... Iya, kan?" Amel bersuara dengan nada bergetar.

Di kejauhan sana Aurel dan Fay berdiri diam dengan raut wajah tak terbaca.

'lo salah rel ... Lo salah! Lo udah benci sama adik Lo sendiri ... Harusnya Lo gak lakuin itu ... Liat, sekarang dia benar benar hilang.'

'Lo bahagia sekarang? Apa Lo senang rel? Lo puas?'

Suara suara aneh muncul di kepalanya. Suara yang terlambat untuk menyadarkan nya. Semua sia sia saja.

'gue gak rela ... Kenapa feyra harus pergi, secepat ini?' tanpa sadar air mata nya jatuh.

'a-adik gue ... Gak seharusnya berakhir seperti ini... Gak!'

Rasa sesaknya semakin tak tertahan. Gadis itu mengusap air matanya, kemudian berlalu pergi tanpa sepatah katapun. Hatinya sama hancurnya dengan Ranty. Penyesalan yang sama ikut memenuhi rongga dadanya hingga hanya isakan tangis yang terdengar lirih.

Bugh

Bugh

"Ternyata, Sesakit ini rasanya penyesalan? Gue gak kuat... Kenapa dia Hiks harus pergi , Hiks secepat ini? Hiks ... Gue Hiks belum minta maaf ... Kenapa dia udah pergi? Hiks hiks" Aurel berhenti di sebuah lorong sepi, memukul dada nya sendiri. Terlalu sakit sampai pukulan fisik tak terasa Sama sekali, rasa sakitnya berada jauh di dalam sana.

"Gue nyesel! Gue nyesel ya tuhaaan ... Sakit banget hiks hiks."

"Aurel... Lo bego rel! Lo bego!! Adik Lo ... Hiks U-udah pergi!"

"Kakak gak berguna! Kakak gak becus!" Tangan nya Terus memukuli dirinya sendiri. Rambutnya ia tarik dengan keras bersama raungan kesedihan yang terdengar memecah Hening di lorong sepi itu. Aurel terus terisak—luruh ke tanah, bersandar di tembok kumuh.

***

Semua penyesalan itu pedih, kata maaf pun tidak ada gunanya lagi. Walaupun dengan jutaan kata maaf yang terlontar, tetap saja tidak akan bisa mengembalikan seseorang yang sudah pulang—kembali pada Tuhan.

Amelia terisak dengan ingatan kepergian Feyra yang menghembuskan nafas terakhirnya dalam dekapan nya sendiri, di sisi lain Ranty hancur oleh rasa sesal nya.

Ferdian?

Laki laki yang berstatus ayah itu,kini mendekam di jeruji besi. Sama seperti yang Ranty rasakan, Ferdian juga terpukul. Kini akal sehatnya Terus menerus mempertanyakan tindakan nya selama ini.

'apa aku salah? Apa semua yang aku lakukan selama ini adalah dosa?'

'jika iya? Seharusnya tuhan kasih aku kesempatan untuk menebus dosa ku! Kenapa anak itu harus pergi secepat ini?'

'dia ... Putriku. I-iya ... Feyra putri nya papa'

Setiap kali Ferdyan menutup matanya yang muncul adalah wajah Feyra yang bersimbah darah. Rasa bersalah terus menerus menerornya hingga mengusik kejiwaannya, suara Fey tak pernah lepas—terus tergiang yang membuat matanya tak lagi mengenal rasa kantuk. Semua nya tersiksa oleh luka batin yang menganga lebar.

Feyra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang