Bab 2. Mampukah?

355 14 0
                                    

~Rasa yang Allah berikan kepada kita adalah fitrah yang harus kita jaga. Tapi, mampukah aku menjaga rasa ini?~

Pondok pesantren al-furqan, fasilitas dan kebersihannya sangat terjamin.
Pesantren ini dikhususkan bagi yang sudah menyelesaikan pendidikannya sampai SMA atau yang tidak lagi sekolah.

Fahrul Renanda, sesosok santriwan yang sangat rajin. Fahrul terbilang saleh, dan menjadi orang yang dapat dipercayai oleh kiai Fadlan. Wajah yang tampan, sikap yang selalu bijaksana, pribadi yang mendekati kata sempurna. Namun, perlu kita yakini kesempurnaan hanya milik Allah semata, tiada lain.

"Ra, kamu lihat apa?" tanya Nadira sembari menepuk bahunya.

"Eh, enggak kok." jawab Azura.

"Sepertinya Azura menyembunyikan sesuatu." pikir Nadira.

"Mang, kita simpan disini ya." Azura menaruh plastik didekat Mang Surya.

"Oh iya, neng." balas Mang Surya, disertai anggukan.
Azura dan Nadira kembali, dan melaksanakan tugas yang lain.

"Ra, tadi kamu ngelihat apasih? Kaya ngelihat setan aja. Eh, tapi kalau setan kan harusnya kamu ketakutan. Tapi, ekspresi kamu kaya habis ngelihat pangeran, deh." tanya Nadira, dengan rasa penasarannya.

"Kayaknya tadi Nadira enggak ngelihat Fahrul. Bagus deh, Jangan sampai Nadira tahu, aku ngelihatin Fahrul. Nanti yang ada Nadira mikirnya macem-macem." batin Azura.

"Ditanya kok malah melamun." gerutu Nadira.

"Enggak kok, aku gak ngelihat apa-apa. Yaudah yuk, kita selesaikan pekerjaan yang lain." ajak Azura. Nadira membalasnya dengan sebuah anggukan, kemudian mereka berjalan kembali.

***
Semua santri menjalankan aktivitas seperti biasanya, mengaji. Terkecuali Nadira, Azura, Tania, dan fatin, melanjutkan tugas piketnya dalam sehari penuh.

"Aaaa!!" teriak jeritan seseorang dari kamar nomor tujuh.
Suara teriakannya membuat kamar nomor satu sampai nomor sepuluh keluar, menghampiri sang empunya suara.

"Ada apa sih," ucap Sumi dan sebagian yang lainnya, Karena kebingungan.

"Siapa sih yang teriak malam-malam gini?" tanya Tania.

"Suara teriakannya di kamar nomor tujuh" sahut Naila.

"Yauda kita cek, ke sana" ajak Fatin. Mereka menuju kamar nomor tujuh, Sumi mengetuk pintunya.
"Tok, tok, tok"

Pintu kamar tersebut dibukakan oleh Kesya. Lalu berkata, "Ada apa ya ramai sekali"

"Tadi kami mendengar suara teriakan, dari kamar ini." ungkap Tania.
Lalu, kesya menjelaskannya, "Kalian enggak usah khawatir, tadi suara Ica. Dia terbangun karena mimpi buruk."

"Kami kira kenapa," sahut Tania.

"Yaudah, yaudah. Kita kembali ke kamar, ya." ujar Azura.

Semua kembali ke kamarnya masing-masing. Kesya menutup pintu, lalu menguncinya.
"Ica, sudah ya jangan nangis. Gapapa kok." Kesya menenangkan Ica.

"Aku malu, Teh Kesya" balasnya.

"Shut, kita memaklumi. Kalian tidak merasa keberatan kan?" tanya Kesya kepada tujuh orang yang ada di kamar itu.
Dari ke tujuh orang itu, menggelengkan kepala sebagai isyarat. Lalu, tersenyum manis kepada Ica.

"Tapi aku malu. Masa udah gede masih ngompol." Ica tersipu malu.

"Gapapa Ica. Dari pada kamu nangis, lebih baik kita rapihkan kasur kamu. Ganti dengan seprai yang baru." Kesya dan yang lainnya membantu Ica merapikan tempat tidurnya.

"Ica benar-benar malu, Teh Kesya. Tadi, ceritanya Kesya lagi mimpi pengen beli es. Terus ada Teteh cantik, yang beliin Ica es. Ica seneng, esnya banyak banget. Semua es, Ica habiskan. Terus, Ica pengen pipis. Ica pergi deh ke kamar mandi. Ta-tapi ternyata itu semua mimpi. Ica kaget, Ica teriak deh, karena kasur Ica basah. Ica takut di marahin." dengan panjang lebar Ica menjelaskan kejadian sebenarnya. Ica terbilang sangat lucu dengan perkataannya, dan semua tingkah lakunya.

Ica berumur sembilan tahun. Usianya berbeda dengan yang lain. Mungkin, hanya Ica santriwati termuda. Masih anak-anak, Ica adalah bayi yang ditemukan di gerbang pesantren. Bayi yang baru lahir, dengan teganya dibuang oleh kedua orang tuanya yang tidak berperasaan. Kemudian Ica dirawat di pesantren. Kiai Fadlan mengadopsinya, dan tinggal di pesantren. Ica dirawat oleh santriwati senior atau ustazah yang lain. Karena Farida yang enggan merawat Ica. Farida adalah istri kiai Fadlan. Setelah istri pertama kiai Fadlan meninggal. Tiga tahun kemudian kiai Fadlan menikahi Farida yang berstatus janda dengan anak satu, bernama Tasya Elvina.
Sangat disayangkan, Farida memiliki sikap yang acuh terhadap santri, bahkan terhadap suaminya, kiai Fadlan. Namun, kiai Fadlan dengan kesabaran yang luar biasa dan ingin membimbing istrinya itu menjadi lebih baik.

"Hadeh, si Ica kan udah sembilan tahun. Kenapa atuh ya, masih ngompol aja." ucap Sumi dengan ciri khas Sundanya.

"Wajar, anak-anak." balas Naila.

"Sembilan tahun mah udah besar atuh euy, dulu aku teh berhenti ngompol pas umur lima tahun."

"Jangan disamakan kamu sama Ica atuh euy." balas Naila dengan nada Sunda yang mengejek Sumi.

"Ih kamu kunaon ikut ikutan kaya aku bahasanya." Sumi tidak menerima.

"Kenapa? Gak boleh?" sinis Naila.

"Sudah-sudah, kenapa malah jadi ribut." Azura memisahkannya.

"Semuanya tidur. Supaya gak kesiangan tahajud," Sambung Azura.

Semua mulai tertidur, Azura gundah gelisah. Perasannya yang tidak karuan. Usianya kini menginjak dua puluh empat tahun. Ia tinggal di al-furqan kurang lebih selama tujuh tahun. Setelah ia lulus sekolah, dirinya menekatkan untuk mondok. Keinginannya untuk masuk pesantren sejak menduduki bangku SMP. Namun, penolakan yang ia dapati dari kedua orang tuanya. Setelahnya, kelulusan SMP, Azura berniat SMA ingin sambil mondok. Penolakan kembali yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Sampai pada akhirnya, ia bertekad keras lulus SMA masuk pesantren. Hingga, sampai sekarang bertahan. Tidak ada rasa bosan, ataupun lelah. Ia jalani dengan penuh semangat. Tidak ada kata ingin berhenti atau pulang, walau sesaat.

Satu hal yang selalu terbesit dalam benak pikiran Azura. Bunda selalu menanyakan melalui telepon, kapan Azura menikah. Berkali-kali bunda menanyakan hal yang serupa. Bagaimana mungkin Azura menikah secepat ini. Azura fokus terhadap kehidupannya dipesantren, tanpa memikirkan pernikahan. Karena, jika sudah waktunya pasti Allah pertemukan, dan permudahkan jalannya.

Azura tidak pernah merasakan hal yang seperti ini. Apakah ia sedang jatuh cinta? Apakah Azura memendam rasa terhadap seseorang?
Allah sedang menitipkan rasa cinta itu kedalam hatinya. Karena, sebelumnya Azura tidak pernah memiliki rasa suka. Ia menjauhi lelaki yang mendekatinya. Banyak orang bilang, Azura seperti phobia akan lelaki. Padahal, bukan. Allah belum menaruhkan rasa itu kepadanya. Namun, apakah ini saatnya yang tepat?

"Argh! Lagi-lagi aku memikirkannya. Maafkan aku, ya Allah. Tolong mampukan aku dalam menjaga rasa ini." Azura gelisah, karena rasa cinta yang sebelumnya tidak ada, kini melekat padanya.

Lentera Hati Azura (END) TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang