"Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, dan patah hati terbesar seorang anak perempuan adalah ditinggalkan oleh ayahnya."
Kain kafan menutupi seluruh daksa sang Ayah. Tidak ada yang bisa menahan rasa sakitnya kehilangan. Apalagi kehilangan cinta pertama, yaitu Ayahanda. Berurai air mata dengan rasa hati yang menyayat atas kehilangannya. Yunita yang ditinggal pergi sang suami tercinta.
Azura masih memeluk erat jasad Riko. Kesedihannya yang teramat perih, wafatnya sang Ayah. "Ra, yang sabar ya." Nadira mendekap Azura yang berlarut dalam kesedihan.
Nadira tidak langsung pergi ke pesantren, ia tidak tega meninggalkan Azura yang sedang berduka.
"Aku bakal temenin kamu, Ra." usapan halus dari tangan Nadira merangkul bahu sahabatnya itu.
Pemakaman segera berlangsung, pengantaran jenazah diiringi sembari melantunkan lafadz tauhid "Laa ilaa ha illallah"
Sesampainya di pemakaman, jenazah perlahan dimasukkan ke liang lahat.
Azura memeluk Yunita, lara hati tiada henti.Proses pemakaman berlangsung selama satu jam. Ditutup dengan pembacaan doa, perlahan semua orang pergi meninggalkan pemakaman. Tersisa hanya Azura, Yunita, dan Nadira. Mereka pulang paling terakhir.
***
"Bun, ayah meninggal karena apa?" tanya Azura yang sebelumnya tidak tahu dibalik meninggalnya sang ayah.Mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu. "Ayah kamu..." yunita menjeda ucapannya.
"Ayah kamu, terkena kanker, nak." sambungnya.
Betapa nestapanya seorang Azura, setelah sekian lama tidak berjumpa dengan sang ayah. Kini dikagetkan dengan kabar kepergiannya. Kerinduan begitu amat menyiksa. Bahkan, sekarang rasa rindu itu tidak akan bisa terobati. Karena jiwa yang telah hirap.
"Kenapa Bunda gak kasih tahu aku perihal sakit yang ayah alami." Pekik Azura.
"Dia menghalangi Bunda untuk memberitahu mu, Ra. Dia tidak mau membuatmu cemas," balas Bunda.
Azura menangis tersedu-sedu. Nadira mencoba menenangkannya, menggenggam tangan sahabatnya dengan erat.
"Nad, makasih udah antar aku. Makasih banyak udah mau temenin aku. Sekarang kamu boleh pulang, titip salam buat yang lain." Dengan mata sembabnya, Azura membiarkan Nadira kembali ke pesantren dan meninggalkannya.
"Aku mau di sini, nemenin kamu"
"Nggak, Nad. Kamu harus pulang," pinta Azura.
"Kamu gapapa aku tinggal?" tanya Nadira antusias.
"Aku gapapa kok, ada Bunda di sini."
"Yakin, Ra?"
"Iya, Nad. Kamu gak usah khawatir." Azura memberi senyuman tipis dibalik kesedihannya.
"Yauda aku pamit, ya."
Nadira terbangun dari sofa, ia berpamitan untuk kembali ke pesantren.
"Bunda, Nadira pamit. Titip Azura ya, Bun." Nadira mencium tangan Yunita.
Lalu mengucapkan salam. Sambil berjalan menghadap pintu, ia menoleh ke arah Azura.***
Kali ini Azura merasakan kembali, kenyamanan rumah yang sudah lama ia tidak rasakan bertahun-tahun.
"Bun, aku ke kamar dulu""Iya sayang."
Azura beranjak menuju kamar, meninggalkan bunda.
Suasana rumah masih terasa sama seperti tujuh tahun yang lalu, ia tempati. Namun, kehangatannya yang telah sirna. Tak lagi ada sosok ayah di dalamnya.
Kamar Azura berada di lantai dua. Kakinya menaiki anak tangga satu persatu. Sembari melihat beberapa pajangan, terdapat penghargaan bisnis yang diraih oleh ayahnya. Di situ juga ada foto-foto Azura saat dibangku SMA.
Setibanya di kamar, Azura meratapi sisi sudut tiap kamarnya. Tidak ada yang berubah, terlihat banyak sertifikat dalam bentuk bingkai yang tertempel di dinding. Begitu juga piala-piala yang ia raih di SMA, tertata rapih di meja belajar. Mata Azura terbelalak ketika ia melihat foto bersama sang kekasihnya di masa lalu. Dirinya tersadar, belum membuang semua yang bersangkutan dengan cowoknya di masa lalu itu.
Azura mengeluarkan baju di tas kecil yang ia gendong. Merapikan dan memasukkannya ke dalam lemari. Ada kardus bekas di bawah ranjang, ia ambil. Dan memasukkan semua kenangan masa lalu kedalam kardus. Azura ingin mengubur kenangannya di masa lalu, ia tidak mau mengingatnya lagi.
***
Nadira kembali ke pesantren dengan raut wajah kusut, merasakan kesedihan yang dialami sahabatnya.
Ia kembalikan kunci motor kepada Pak Kiai."Assalamu'alaikum" salam Nadira didepan pintu kantor, untuk menemui Kiai Fadlan.
Belum ada jawaban salam di sana. Ia ulangi sekali lagi salam, disertai ketukan pintu tiga kali.
Tak lama, pintu terbuka dengan jawaban salam dari Pak Kiai.
"Ini Pak Kiai, Nadira mengembalikan kunci motor yang Pak Kiai pinjamkan ke Azura," ucapannya membuat pak kiai tidak mengerti.
Kemudian, Nadira menjelaskan detail.
"Jadi, kamu sudah tahu?" tanya Pak kiai."Muhun Pak Kiai, saya pun turut berdukacita atas meninggalnya almarhum."
"Tolong kamu sampaikan kepada santri putri, dan meminta uang takziah. Untuk santri putra, nanti saya menyuruh Fahrul," tutur Pak Kiai.
"Baik, Pak Kiai. Kalau begitu saya permisi, assalamu'alaikum."
Pak Kiai pun tak lupa menjawab salamnya. ''Wa'alaikumussalam"
Kebetulan sore ini, semua santri sedang mengaji di Masjid. kiai Fadlan mengumumkan kabar duka yang dialami Azura.
Serentak santri menjawab, "innalillahi wa innailaihi rooji'un"
"Oleh karena itu, santri diminta seikhlasnya untuk belasungkawa, terhadap duka yang dialami Azura."
Nadira berdiri mengelilingi santri putri meminta uang takziah, dan untuk santri putra yaitu Fahrul.
"Mari kita do'akan semoga almarhum ayahanda Azura diterima amal ibadahnya. Meninggal dengan Khusnul khotimah, dan ditempatkan yang terbaik di sisi Allah." tutur Pak kiai.
"Aamiin"
Serempak santri mengamini ucapan Pak Kiai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati Azura (END) TERBIT
Ficção AdolescenteGadis anggun dan juga cantik. Bernama Azura Nafeeza Syakila, nama yang indah begitu juga dengan rupanya. Dikenal sebagai Santri primadona. Azura dibingungkan oleh ketiga lelaki yang berniat ingin menikahinya. Salah satu diantara ke tiga hati itu, ha...