Bandung terkenal dengan penduduknya yang ramah, mereka menjunjung tinggi kepercayaan, Sopan dalam bertutur kata. Tak sekedar menawarkan kesejukan, bandung termasuk kota yang memiliki toleransi tinggi.
Pagi ini diikuti dengan awan yang cerah, masih dengan kesejukan yang tiada tara.Azura sedang menjemur baju, sebagian santri melakukan kegiatannya masing-masing.
"Dor!" dari belakang, datangnya Tania dengan mengejutkan Azura."Astaghfirullah, Tania!"
"Hehe. Maaf, Ra. Gak sengaja, tapi niat." ucap Tania membuat Azura sedikit kesal.
"Ngagetin, bikin jantungan aja."
"Eh, Ra. Antar aku yuk."
"Kemana?" tanya Azura.
"Ngintip santri putra mandi... hahaha" ujar Tania, ditimpa ketawanya yang terlihat puas. karena berhasil membuat wajah Azura begitu serius menanggapinya.
Azura menaiki satu halisnya, "Kamu ini, apaan sih. Enggak lucu."
"Yaampun, Ra. Susah ya, bikin kamu ketawa, mahal banget kayaknya ketawa kamumah" lagi-lagi Azura tidak menanggapinya, ia melanjutkan menjemur pakaian, ke tempat jemuran.
"Langsung aja, mau minta antar kemana?" tak berapa lama, setelah hening, Azura bertanya kepada Tania.
"Ke kantor, aku mau menelpon ibu. Uang saku sudah habis, sabun, skincare, sudah pada habis."
"Skincare buat apa?" tanya Azura.
"Buat mempercantik diri lah, Ra. Eh iya, kamu pake skincare apa, Ra?" Tania bertanya balik.
"Enggak pake apa-apa. Aku gak ngerti soal begituan." jawabnya dengan cuek.
Tania tidak mempercayainya, secantik, sebening Azura mana mungkin tidak memakai skincare andalannya. "Serius? Muka kamu se-glowing, sebening itu.. gak pake apa-apa?"
Kini jemurannya sudah selesai. Azura berbalik, berbicara dengan tubuhnya menghadap Tania. "Iya, aku gak pake skincare. Aku mensyukuri wajah yang sudah Allah kasih ke aku, dengan tidak mengubahnya, atau menggunakan apapun."
Tidak bisa dipungkiri kecantikan Azura melebihi segalanya, namun dirinya tidak pernah merasa sombong atas kecantikannya. Ia selalu mensyukuri segala yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. "Yaudah, yuk aku antar ke kantor." sambung Azura, dengan mengayun tangan Tania.
Mereka berjalan ke kantor putri, disana ada Teh Zahro. Tania mengatakan keinginannya tadi, "Assalamu'alaikum, Teh.."
"Wa'alaikumussalam, iya. Ada apa?" jawab salam diiringi tanya Teh Zahro.
"Teh, Aku mau pinjam hp Kantor. Untuk menelpon ibu di rumah, boleh?" Tania meminta izin, karena jika berkepentingan atau mau telepon, santri menggunakan handphone yang di kantor.
"Oh iya, tafadhol.." Zahro mempersilahkannya, lalu menyerahkan handphone kepada Tania.
Segera mungkin Tania menelepon ibunya, namun posisinya agak menjauh dari Azura dan Zahro.
Tujuh menit kemudian, Tania selesai dan menutup teleponnya.
"Udah, Tan?" tanya Azura."Udah, kamu mau nelpon nggak?"
Sebenarnya dalam hati Azura ingin sekali menelepon orang tuanya, apalagi melepas rindu walau hanya dengan mendengar suara. Setidaknya bisa mengobati kerinduan yang telah bertahun-tahun. Namun, ia tidak mau mencemaskannya. Bagaimanapun Azura ingin mandiri, tidak perlu meminta apapun dari mereka. Azura selalu bersyukur, walaupun orang tuanya bersikap cuek, tidak menanyakan kabar, tetapi mereka selalu mentransfer Azura setiap sebulan sekalinya. Bagaimanapun mereka peduli terhadap Azura, meski tidak melalui rasa kasih sayang. Kalaupun telat kiriman uang, Azura tidak pernah meminta. Ia hanya menunggu, dan tidak mengeluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati Azura (END) TERBIT
Teen FictionGadis anggun dan juga cantik. Bernama Azura Nafeeza Syakila, nama yang indah begitu juga dengan rupanya. Dikenal sebagai Santri primadona. Azura dibingungkan oleh ketiga lelaki yang berniat ingin menikahinya. Salah satu diantara ke tiga hati itu, ha...