~Memarahi bukan berarti menghakimi. Akan tetapi dibalik memarahi ada makna lain yang tersirat, bahwa memarahi bukan semata-mata karena marah. Bisa jadi, alasan lainnya adalah sebagai tanda sayang untuknya~
"Sayang, tuh kan badan kamu panas banget," ucap Gus Abyan ketika memegang kening istrinya.
Azura membukakan matanya, melihat Gus Abyan di depannya. Lalu ia mencium tangan Suaminya, yang sepulang dari kerja.
"Makan pedes lagi ya? Minum es terus?"
Azura mengangguk, karena bagaimanapun ia suka dengan makanan pedas ditambah lagi minumnya es. Berbagai cara Gus Abyan melarangnya, namun ia terkekeh tidak bisa meninggalkan kebiasaannya itu. Azura tidak bercerita kepada Gus Abyan soal kejadian tadi di kantin. Hal ini akan ia rahasiakan. Gosip dan cacian tadi akan ia jadikan sebagai motivasi, dan pelajaran baginya. Dan karena itu, Azura akan memperbaiki semuanya.
"Ken sasakalimah Mun Aa ngomong teh, da Aa ngawartosan didinya. Ngabejaan kadidinya teh karena nyaah, bisi kunanaon. Makana sok gera buka cepilna, danguken, sing hoyong di wartosan teh, sing ngawaro gera," Gus Abyan memarahinya dengan menggunakan bahasa Sunda. Untungnya Azura paham dengan artinya.
Ternyata Gus Abyan sangat lucu ketika marah dengan melontarkan bahasa sunda lemes. Azura candu mendengarnya, membuat dirinya merasa tidak di sentak, walau sedang di marahi.
"Atuh kamuteh malah senyum," ucap Gus Abyan.
"Ternyata Gus lucu ya, kalau lagi marah. Logat Sundanya keluar," balas Azura dengan cengengesan.
"Kamu mah bukannya dengerin, malah ketawa."
"Gus, aku suka. Lain kali gini lagi ya, kalau marahin aku pake bahasa Sunda, Gus ngomongnya lucu."
"Emang kamu paham?"
"Paham dong."
"Yaudah sayang, nih aku bawain obat, pokoknya harus diminum. Dan ini ada makanan yang manis buat kamu. Eits, kamu jangan makan pedas dan jangan minum es dulu, ya." Gus Abyan melarangnya.
Azura memanyunkan mulutnya, makanan pedas dan es adalah hal yang tidak bisa dihindarinya. "Gak bisa, Gus."
"Harus bisa, nanti aku cium nih kalau ngeyel terus."
Azura tersipu malu, hatinya berbunga-bunga. Atas kekhawatiran dan perhatian suaminya yang begitu dalam. Lalu, Azura meminum obat, dan tertidur.
***
"Eh, kok keluar kamar," kata Gus Abyan di meja makan, melihat istrinya sudah keluar kamar di pagi hari ini.
"Aku udah sembuh kok, Gus." Azura berjalan menghampiri suaminya.
"Udah kamu istirahat aja di kamar, aku gak mau kamu sakit lagi. Kalau mau makan atau minum, nanti aku bawain ke kamar, sayang."
"Perhatian banget nih sama istrinya," gurau Pak Kiai.
"Iya dong, Abi," balas Gus Abyan.
Gus Abyan menuangkan nasi kedalam piring beserta lauknya, dan segelas air putih. "Ayok sayang, kamu sarapan nya di kamar aja ya. Ini aku bawain nasinya," ucap Gus Abyan, berjalan dengan berdampingan, untuk membawa Azura ke kamar. Kedua tangannya memegang piring dan segelas air minum.
"Udah, biarin. Mereka makin hari makin so sweet ya, " ujar Pak Kiai.
"Iya, Abi," balas Hasna disertai senyuman.
"Alah, so sweet tapi suaminya minta nafkah batin, belum di kasih," celetuk Tasya.
"Tasya!" sentak Pak kiai.
"Udah lah, percuma juga. Abi gak bakalan percaya." Tasya terperanjat dari kursinya, dan melengos.
Makanan sudah selesai di santap nya. Semuanya meninggalkan ruang makan, kecuali Gus Abyan dan Bu Farida yang tersisa. "Umi, Abi mau tanya sama umi."
"Mau tanya apa Abi?"
"Kenapa setiap tahunnya keuangan pondok semakin berkurang. Semuanya kan umi yang atur, Abi pengen tahu bagaimana cara umi mengelola uangnya?"
"Ya begitu. Seperti biasanya, Abi juga pasti tahu. Kan semua yang umi kerjakan atas perintah dan arahan Abi."
"Umi jangan bohong, sampai kapan umi terus membohongi Abi? Sampai kapan terus-terusan umi memakai uang santri?"
"Abi ini ngomong apa sih." Bu Farida mencoba mengalihkannya.
"Abi udah tahu semuanya, dari dulu karakter umi gak bisa di ubah ya. Padahal umi udah janji sama Abi, di awal nikah, umi bakal hijrah, bakal nurutin perintah suami."
"Ya ini kan udah umi jalani, umi taat sama Abi. Umi mulai berhijab ketika nikah sama Abi, dan umi mau bantu Abi perihal pesantren."
"Jangan hanya penampilan yang diubah, akhlak pun harus di ubah, mi," pinta Pak Kiai.
"Iya-iya."
"Terutama anak kamu, Tasya. Didik dia dalam etika, terutama ucapannya."
"Tasya walaupun anak aku, sekarang dia jadi anak kamu juga, Bi. Rasa sayang kamu ke anak-anak jangan dibeda-bedakan."
"Abi nggak membedakan mereka. Abi sayang sama mereka semuanya. Namun, sikap Tasya yang semakin hari menjadi-jadi."
Terjadinya kegaduhan antara Pak Kiai dengan Bu Farida. Terlebih lagi Bu Farida yang tidak bisa lepas dari kebiasaannya, senang berfoya-foya. Seberapa kali pun Gus Abyan menasihatinya, hanya di dengar hari itu saja, esok harinya berulah lagi. Bu Farida dengan Tasya sikapnya tidak jauh berbeda. Bu Farida yang terlihat baik di semua orang, di belakang ia bersikap arogan dan sombong. Begitu pula Tasya, dirinya terus terang dalam mengeluarkan sikap aslinya, tidak ditutup-tutupi seperti ibunya, Farida. Pak Kiai selalu sabar untuk membimbing istrinya, ia senantiasa menjaga aibnya.
"Abi, umi. Aku titip Azura ya, biarkan dia istirahat, agar cepat pulih. Aku berangkat kerja dulu, ya..." Pamit Gus Abyan, dan mencium tangan kedua orang tuanya.
"Hati-hati nak," ucap Pak Kiai.
"Siap Abi. Byan pulangnya agak lebih cepat kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati Azura (END) TERBIT
Ficção AdolescenteGadis anggun dan juga cantik. Bernama Azura Nafeeza Syakila, nama yang indah begitu juga dengan rupanya. Dikenal sebagai Santri primadona. Azura dibingungkan oleh ketiga lelaki yang berniat ingin menikahinya. Salah satu diantara ke tiga hati itu, ha...