CHAPTER 25

20 16 4
                                    

Happy Reading
*
*
*
Chapter 25: berkunjung sebentar

••○••

Sambil berjalan Nadin menahan diri untuk tidak menengok ke belakang, namun tetap saja hati Nadin tidak sanggup menahan keinginannya untuk menoleh kebelakang. Nadin pun membalikkan diri ke arah kanan, kembali menoleh ke arah Devan, namun dia terlihat telah mulai berjalan meneruskan langkahnya yang sempat terhenti. Nadin rasa, Devan juga enggan menoleh ke belakang untuk melihat diri Nadin lagi.

Jika mengucap seribu maaf dapat menebus segala kekhilafan Nadin padanya, ingin rasanya Nadin ucapkan sekarang juga di hadapannya. Nadin terpaksa melukai hatinya. Bukan karena  Nadin tidak menyayanginya. Tapi karena Nadin tidak ingin semakin melukai hati Mbak Arum. Selagi Nadin masih sanggup untuk menahan perasaannya pada Devan, Biar Nadin nikmati sendiri perasaannya.

Nadin sempat bertanya-tanya sendiri ketika berpapasan tadi dengan Devan. Belum tiba pukul enam sore, tapi.. dia hendak pergi kemana? Penampilannya lengkap dengan jaket serta tas kerjanya. Ah.. Sudahlah.. Kalau memang mau bertanya, bisa saja Nadin tanyakan sendiri kepadanya tadi. Tapi Nadin sendiri juga yang memilih diam, bahkan melangkah pergi lebih dulu darinya.

Sedari tadi memikirkan hal ini, untung Nadin tetap sadar ketika bus kota yang ingin di naikin melintas sedikit lagi di depannya. Nadin buru-buru menyetopnya dan segera naik perlahan-lahan saat busnya telah berhenti. Nadin berdiri di tengah para penumpang lain yang juga berdiri. Kami berpegangan pada besi panjang yang menggantung di tengah langit-langit bus. Ini sumber kuman, ini hal yang paling tidak Nadjn sukai saat menaiki bus yang penuh.

Nadin masih terbayang oleh pertemuan singkat yang baru terjadi beberapa menit yang lalu.Tatapan mata Nadin memang memandang ke arah luar jalanan, tapi rasanya Nadin hanya memandang kosong, pikirannya sedang melanglang kemana-mana. Di tengah guncangan bus kota yang sesekali mengerem mendadak ini, Nadin perlu berhati-hati menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak oleng dan terjatuh.

Jika Devan dan Mbak Arum tidak pernah saling mengenal sebelumnya, apakah Nadin bisa menerima Devan sepenuhnya dalam hidupnya?! Entahlah.. Inilah garisan takdir yang sesungguhnya, yang harus Nadin lewati sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Segalanya telah mengubahnya menjadi sosok yang lebih dewasa

****

saat ini.Sampai di rumah, Bunda masih sering bertanya, "Devan  kemana?" sejak terakhir kali mengantarnya pulang hampir dua minggu yang lalu, Devan tidak pernah terlihat lagi Datang dan mengunjungi  rumah kami. Padahal Nadin sudah bilang pada Bundanya kalau Nadin telah menolak Devan. Tapi terkadang Bunda Nadin terus bertanya, entah itu sengaja meledek atau ingin membuat Nadin menyesal telah menolaknya. Nadin bosan menjawab pertanyaan Bundanya. Sehingga terkadang aku asal-asalan menjawabnya.

"Ngga dianter Devan,Nad?"

"Ngga Bun... Musim hujan gini."

"Oh.. Kalau sudah ngga musim hujan berarti dianter lagi dong?"

" Terserah Bunda aja deh."

Setelah puas menggodak Nadin, biasanya Bundanya tertawa sendiri. Nadin tidak pernah menceritakan pada Bundanya atau pada siapa pun perihal sebabnya Ndain tidak dapat melanjutkan hubungan dengan komitmen yang serius dengan Devan. Nadin tidak ingin dikatakan bodoh karena mengorbankan perasaannya sendiri demi Mbak Arum yang sangat Nadin hormati, sedangkan Devan sendiri belum tentu mau kembali pada Mbak Arum.

"Nadin...Ada yang cari nih.." Bunda sudah memanggil  lagi padahal Nadin baru saja meletakkan tasnya di meja kamar.

"Iya sebentar Bun.." Nadin selesaikan dulu membuka jaket yang baru terbuka risletingnya. Lalu segera bergegas keluar meninggalkan kamarnya.

Nadin hampiri suara Bundanya yang terdengar sayup-sayup seperti sedang mengobrol di teras. Nadin semakin mendekat ke luar pintu dan akhirnya Nadin dapat melihat dengan jelas, sedang mengobrol dengan siapa Mama di teras.

"Hai Nad!"

"Hai.." Nadin menjawab datar sapaan lelaki itu dengan nada yang masih sedikit terkejut serta kebingungan dengan kehadirannha saat ini.

"Bunda tinggal ke dalem ya." Ucap sang Bundaa beranjak meninggalkan mereka berdua di teras. "Ayo duduk.." Nadin mempersilahkan Devan duduk dikursi  yang biasanya.

Nadin pun ikut mengambil posisi duduk pada kursi yang satunya lagi. Nadin menoleh pada Devan dan tersenyum, "Dari mana?" "Habis ketemu rekanan bos, kantornya nggajauh dari jalan raya depan sana" ah, mampir kesini karena dekat ya?

"Sekalian?"

"Ya, ngga juga sih. Pingin kesini aja, sudah lama ngga kesini."

"Hmm.. Ya, kenapa ngga kesini dari kemarin-kemarin? Kan aku ngga larang kamu main kesini. Kamu juga udah ngga pernah mampir ke kedai lagi."

Devan tidak menjawab dengan ucapan apapun, dia hanya tertawa kecil seraya menunduk. Kami terdiam bersama beberapa saat.

"Sekali lagi aku minta maaf ya Mas, sama kamu. Kalau emang ada sikap aku yang sudah menyakiti kamu selama kita kenal, aku sama sekali ngga bermaksud begitu."

"Ngga Nad.. Kamu ngga perlu minta maaf lagi. Kamu ngga salah. Apa kita boleh tetap berteman?"

"Ya ampun Mas, aku juga ngga pernah bilang kan kalau aku udah ngga mau berteman sama kamu lagi? Kita tetap bisa berteman baik sampai kapan pun. Cuma, kamu juga mesti punya waktu untuk membuka diri kamu buat cewek lain. Kalau kita terlalu sering bareng-bareng kayak kemarin-kemarin, gimana kamu bakal punya waktu untuk itu.."

Lantas Devan mengangguk mengiyakan ucapan Nadin barusan."Kalau mau mampir ke kedai, ya dateng aja Mas.. Kalau sebelum-sebelumnya kamu bisa cuek saat ketemu Mbak Arum, mungkin nanti lama kelamaan hati kamu luluh sendiri pas ketemu dia."

"Apaan sih Nad? Ngga usah bahas dia sekarang."

"Hmm lya deh.mas."

Karena mengobrol sejak tadi, Nadin jadi lupa mengambilkan air minum untuk Devan.

"Oh iya, aku ambil minum dulu ya sebentar."

"Eh ngga usah Nad, ini aku mau balik."

"Oh.. Ya sudah. Maaf Iho aku sampe lupa ambilin dari tadi. Bunda panggil aku pas aku belum lama masuk kamar. Mau balik sekarang? Aku panggil Bunda ya"

Bunda Nadin menghampiri mereka ketika Nadinberteriak memberi tahunya bahwa Devan akan pulang.

"Kok ngga minum dulu, van? Buru-buru, cuma sebentar kesininya."

"Iya Tante.. Sebelum hujan gede lagi. Saya pamit ya Tante.." seraya cium tangan pada Bundanya Nadin.

"Iya hati-hati lho, licin di jalan."

"Iya Tante, makasih.."

Devan tersenyum simpul pada Nadin, memberi kode dirinya akan pergi sekarang. Devan menghampiri motornya yang diparkirkan di luar pagar rumah kami. Nadin mengikuti langkahnya untuk mengantarnya sampai di pagar. Nadin tunggu dan nadin amati dirinya ketika naik ke atas motor. Setelah dia mengenakan helmnya, dia mengangguk tanda pamit sekali lagi pada Nadin.

"Hati-hati ya.." hanya itu yang mampu  Nadin ucapkan.

-Next chapter berikutnya-

seduhan Kopi seorang barista [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang