CHAPTER 27

25 19 10
                                    

Happy Reading
*
*
*
Chapter 27: udangan pernikahan Gio

••○••

Akhirnya kami lolos dari kemacetan ini. Penumpang seisi bus nyaris kompak menoleh ke arah kiri jalan untuk melihat si korban yang terserempet tadi. Terlihat seorang bapak yang mungkin berusia lima puluhan mengenakan jaket kulit hitam sedang meringis kesakitan memegangi kaki kirinya, sepertinya juga ada luka yang cukup besar disitu. Di sekelilingnya tampak beberapa orang yang sedang menolongnya dan membantunya minum dari sebotol air mineral yang dipegangi oleh seorang lelaki muda.

Alhasil, Nadin pun telat sampai di kedai. Sudah lewat sepuluh menit dari pukul tujuh. Nadin berlari kecil ketika sampai di depan pagar ruko. Tidak banyak berpikir lagi, Nadin langsung menuju pintu depan kedai, Nadin berniat masuk lewat sana. Nqdin yakin kuncinya sudah dibuka dari dalam oleh zahra. Ya, benar. Pintunya tinggal di dorong ke dalam, lalu terbuka. Dengan setengah ngos-ngosan, Nadin membalikkan papan stainless open closed kepada bagian yang tertulis open.

Huh.. Nadin menuju ruang belakang melewati samping meja barista, untuk menaruh tas dan menanggalkan jaket yang Nadin kenakan. Bergerak gesit mengeluarkan celemek bersih dari dalam tasnya, yang di bawa dari rumah. Lantas mengenakannya sambil berjalan kembali menuju meja kerjanya, meja barista. Sambil cengar-cengir dan bersandar di dinding, Nadin menggoda Zahra dan Namira.

"Kok tadi ngga kalian buka aja papannya?" "Terus kalau pas buka langsung ada yang dateng minta kopi, yang suruh bikin siapa?" jawab Namira sambil memanjang-manjangkan lehernya, menoleh sedikit ke arah Nadin.

"Kamu sih telat.." Zahra menambahkan dengan nada suara datar.

"Hahaha.. Ya kalian lah yang bikin kopinya. Seduh aja kopi sachet instan. Hahaha.." jawab Nadin bercanda pada keduanya.

Petir mulai menggelegar. "Waduh.." kami bertiga kompak terkejut.

Dari dalam kedai, angin tampak berhembus cukup kencang, membuat tangkai-tangkai pepohonan di area parkir depan berayun-ayun kencang, menggugurkan sedikit daunnya. Disusul kemudian hujan cukup deras membasahi aspal jalanan. Kedai terasa hening, hanya suara desiran air hujan yang terdengar. Nadin, Zahra dan Namira keluar dari posisi kami masing-masing. Nadin berdiri tiga langkah dari pintu depan, menghadap ke luar. Zahra duduk pada salah satu kursi tamu yang juga menghadap ke luar. Sementara Namira berdiri di depan meja kasirnya tampak menyandarkan tubuhnya disana.

Kami bertiga memandang ke arah yang sama, ke luar kedai. Entah apa yang berada dalam pikiran kami masing-masing saat ini. Apakah semua orang akan terbawa oleh perasaannya kala sedang berhadapan dengan hujan? Kala mata sedang memandang pada hujan. Apakah hujan hadir dengan membawa segala kenangan pahit dan manis yang pernah terjadi dalam hidup setiap manusia?

Entah sudah berapa lama kami bertiga asyik menikmati posisi kami masing-masing. Hingga kami buyar dalam sekejap ketika menyadari kemunculan mobil Mbak Arum yang tampak Sedang mengatur posisi untuk parkir di depan kedai

Mbak Arum membuka payung lipatnya yang berwarna pink kemudian bergegas dengan langkah hati-hati menuju pintu kedai. Dia menutup payung itu di teras kedai, sedikit mengibas-ngibasnya serta memasukkannya ke dalam tas ramah lingkungan yang ditenteng olehnya. Lalu perlahan mendorong pintu kedai.

"Pagi semuanya.." dia tersenyum ramah menyapa kami seraya berlalu menuju tangga ke lantai dua. Kami menjawab salamnya dengan kompak. Disusul dengan komentar kami saling lirih, "Tumben pagi-pagi.."

seduhan Kopi seorang barista [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang