CHAPTER 26

20 16 9
                                    

Happy Reading
*
*
*
Chapter 26: terkena macat

••○••

Nadin masih tidak habis pikir. Bahwa akhirnya dia masih mau datang kemari menemuinya setelah pertemuan yang sangat garing terjadi baru sore tadi di samping kedai. Aneh sekali rasanya bertemu dengan orang yang sedang kita rindukan. Mungkin semestinya Nadin sangat senang saat ini. Tapi, ini terasa mengalir begitu saja.

Nadin jadi linglung, lupa untuk kembali ke kamar lagi. Nadin malah menghampiri Bundanya yang terlihat sedang menonton televisi sambil selonjoran di atas karpet. Pandangan matanya memang tertuju pada layar televisi, namun lagi-lagi pikirannya mulai kacau.

"Nad, kenapa sih kamu ngga pacaran aja sama Devan? Dia baik kan?"

"Ya.. Kan buat jadi pacar, ngga cuma harus baik bun.."

"Wih, pinter ya kamu. Benar juga itu. Hmm.. Ya sudah lah, yang lebih tahu Devan kan kamu, dibanding Bunfa."

"Eh ya ampun, Nadin tuh mau mandi bun.." Nadin pun bangkit dari posisi duduknya di samping Bundanya, di atas karpet dan bergegas menuju kamarnya.

Nadin sangat jarang menggunakan kamar mandi bersama di dekat dapur, rasanya lebih praktis menggunakan kamar mandinya sendiri di kamar. Keran air yang sedang di nyalakan, harus Nadin matikan sejenak untuk memastikan apakah di luar sudah turun hujan lagi. Benar saja, hanya terdengar suara derasnya hujan ketika keran air nya di matikan sementara. Mungkin saat ini Devan sedang berteduh untuk mengenakan mantel hujannya. Ah.. Apa-apaan Nadin ini. Seharusnya Nadin tidak terlalu sering memikirkan dia sebelum Nadin menjadi gila sungguhan.

"Nad.. Sudah belum mandinya? Makan yuk.." Bunda mengetuk pintu kamarnya.

Nadin langsung membukakan pintunya, masih dengan handuk berwarna biru yang membungkus kepalanya. Namun aku telah mengenakan daster cantik berwarna pink dengan gambar kaktus-kaktus kecil yang memenuhi seluruh bagian daster ini. "Makan? Waw.." Nadinmenutup kembali pintu kamarnya seraya membuntuti di belakang sang Bunda.

"Tuh kesukaan kamu, ayam garang asem."

"Wih. Bunda ngga bilang dari tadi."

"Sudah, duduk! Makan yang banyak."

Kami hanya berdua menikmati makan malam kami. Ayah dia belum sampai di rumah. Pasti beliau sangat pelan dan hati-hati melajukan motornya. Apalagi sekarang hujan terdengar masih cukup deras

Makan malam ini begitu nikmat. Bunda sangat pandai memasak, bahan masakan sesederhana apapun dapat disulap oleh kepiawaian tangannya hingga menjadi luar biasa rasanya. Meskipun sejak lulus kuliah beliau sibuk menjadi wanita karier, namun semenjak memutuskan untuk terjun menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya, beliau mulai rajin membaca buku-buku resep dan belajar giat dengan mempraktekkannya sendiri di dapur.

Sehingga, kini beliau sangat dipercaya dalam urusan masak-memasak. Terutama oleh keluarga besar kami. Jika diadakan acara kumpul keluarga besar atau arisan, ulang tahun dan semacamnya, sudah pasti tenaga Bunda termasuk yang paling diandalkan untuk terjun di dapur menghandle konsumsinya.

"Makasih Bunda cantik.." Nadin tersenyum sangat lebar hingga menyipitkan matanya, tanda Nadin sangat puas dan senang pada ayam garang asem buatannya. Bundanya masih belum menghabiskan makanannya, Nadin bangkit dari kursi makannya menuju ke dapur dengan membopong piring kotornya. Nadin pun langsung mencuci piring itu sampai terlihat licin dan kinclong.

seduhan Kopi seorang barista [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang