CHAPTER 28

33 18 24
                                    

Happy Reading
*
*
*
Chapter 28: di tolong devan

••○••

Tiba-tiba saja kami semua dikejutkan oleh suara grasak-grusuk dari tangga pojok kedai. Kami semua kompak menoleh ke arah datangnya suara itu. Kemudian tampak Mbak Arum sedang mendorong-dorong lelaki berbaju biru tadi dari arah belakangnya. Mbak Arum tampak sangat kesal dan meminta lelaki itu untuk segera pergi dari kedai.

"Ya aku sudah bilang kalau kamu mau kesini sebates ngobrol biasa ngga apa-apa, kenapa kamu masih ngga berubah? Aku ngga bisa nikah sama kamu!" suara Mbak Arum cukup terdengar sampai di telinga kami.

Untungnya pelanggan hanya tersisa sekitar tiga orang disini. Yang lainnya sudah pergi sejak tadi.

Lelaki tinggi itu tampaknya terus memaksa Mbak Arum, terlihat sekali dia tetap tidak mau pergi dari sini meski Mbak Arum terus mendorongn tubuhnya. Kami masih diam karena tidak ingin terkesan ikut campur masalah mereka. Namun akhirnya Devan tergerak menolong Mbak Arum ketika Mbak Arum berteriak.

"Panggil satpam, Gio! Tolong Gio, panggil sekarang!" Mbak Arum masih terus berusaha mendorong lelaki itu ke arah pintu depan. Gio sigap memenuhi perintah Mbak Arum, dia berjalan secepatnya ke arah pintu untuk pergi ke pos satpam. Tapi sebelum Gio sampai di pintu, Devan telah mendekat pada Mbak Arum dan lelaki itu. Nadin dibuat terkejut lagi oleh kali ini.

"Lo ngga denger dia suruh lo pergi dari tadi?" "Eh. Siapa lo?! Ikut campur urusan gue" akhirnya lelaki itu buka mulut juga. Nadin jadi takut membayangkan yang terjadi selanjutnya.

"Ya lo jangan begitu sama perempuan! Dia ngga mau, jangan lo paksa!"

Dengan tangan kirinya, lelaki itu mulai menyincing kemeja bagian depan yang dikenakan Devan, sedang tangan kanannya mengepal tinggi hendak menonjok wajah Devan. Haduh Nadin harus menghentikan lelaki itu sekarang juga.

Sebelum Nadin melancarkan aksinya menarik lelaki itu dari arah belakang, akhirnya Gio muncul bersama seorang satpam bertubuh kekar. Dia bukan Pak Otong ataupun Pak Jarwo, mungkin satpam baru disini. Lantas Gio dan satpam itu melerai tindakan lelaki itu yang sedikit lagi hampir menonjok wajah Devan.

Satpam keren itu menggiring si lelaki keluar dari kedai dengan sedikit menyeretnya. Tampak si satpam mengantarnya sampai di mobil lelaki itu. Dan memastikan hingga mobil lelaki itu pergi meninggalkan area ruko.

Mbak Arum terduduk lemas di salah satu kursi tamu dekat meja barista. Sungguh Nadin merasa bersalah membiarkan lelaki itu naik ke ruangannya. Nadin belum berani mendekatinya sekarang dan meminta maaf padanya. Di depan matanha kini, Mbak Arum tidak hanya sendirian tetapi ada Devan yang duduk di hadapan Mbak Arum membawakan sebotol kecil air mineral yang didapatnya dari tangan Zahra.

Nadin melihat dengan jelas Devan menyodorkan botol itu tepat di depan wajah Mbak Arum yang sedang menunduk. Raut wajah Mbak Arum menampakkan kekagetannya pada sikap Devan. Dia mendongak dan termangut menatap Wajah Devan, lelaki yang masih sangat dicintainya hingga kini Nadin sempat mengira setelah kejadian terakhir di kedai, sikap Devan akan lebih melunak pada Mbak Arum. Namun kenyataannya, Devan masih bersikap dingin pada Mbak Arum. Sikapnya masih sangat kaku ketika mereka bertemu atau sekedar berpapasan. Menurut Devan, siapapun orangnya yang berada dalam situasi terpojokkan seperti Mbak Arum waktu itu, berhak untuk mendapat pertolongan.

Hari itu, Mbak Arum langsung pergi meninggalkan kedai setelah beberapa menit kondisi pikirannya dapat ditenangkan oleh Devan. Nadi  tidak tahu persis apa yang mereka bicarakan berdua kala itu. Soal itu, Devan tidak mengatakan apapun padanya. Keesokan harinya setelah kejadian itu, Devan memohon maaf yang sebesar-besarnya pada Mbak Arum karena telah membiarkan lelaki bertubuh tinggi itu naik dan masuk ke ruangannya.

Namun Mbak Arum hanya tersenyum dan menggeleng, katanya.. "Ngga apa-apa nad, bukan salah kamu kok. Dia memang hubungin Saya, katanya ada hal penting, tapi ternyata itu cuma akal-akalan dia aja."

Nadin lega mendengarnya kalau memang kejadian itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Nadin akan selalu mengingat bahwa sekarang aku dan teman-teman di kedai harus lebih berhati-hati menerima tamu untuk Mbak Arum.

"Nad, boleh makan siang bareng?" Devan baru saja mengirimi Nadin pesan

"Maaf Mas, aku sudah bawa makan siang dari rumah."

"Oh gitu nad.. Sekarang kamu selalu bawa ya."

"Iya sudah jarang jajan diluar. Biar irit juga, hehe."

Mungkin sebenarnya Nadin sangat senang dengan ajakan Devan untuk makan siang bersama hari ini. Namun sebaiknya, Nadin berusaha menolaknya.

Hawa di dalam kedai terasa lebih dingin hari ini. Padahal suhu dari AC telah kami sesuaikan dengan keadaan cuaca diluar. Namun tetap saja, rasanya Nadin hampir menggigil disini. Rintik gerimis masih terus membasahi sejak pagi tadi hingga menjelang siang ini. Nadin rindu matahari. Mengapa dia harus bersembunyi di balik awan-awan gelap itu? Hmm.. Bisa jadi matahari tidak berbeda jauh dengan manusia, akan ada masanya matahari harus meredup sementara seperti kebahagiaan yang harus terhalangi dulu oleh kesedihan yang juga sementara.

Nadin dan Gio masih sibuk melayani pesanan pelanggan. Sekuat tenaga Nadin tetap sigap menyiapkan pesanan mereka di tengah kondisi tubuhnya yang sedang kedinginan. Nadin ini memang norak. Kadang kedinginan sedikit saja, Nadin tidak tahan. Nadin heran melihat teman-temannya disini dan semua orang yang berada di sekelilingnya saat ini, apa mereka semua tidak merasakan hal yang sama dengannya? Kenapa mereka terlihat biasa-biasa saja ya? Seperti tidak merasa sedang kedinginan sama sekali. Atau jangan-jangan tubuh Nadin sendiri yang sebetulnya sedang tidak sehat. Ah.. Sudahlah..

"Nad, itu pesanan siapa?" mata Gio memandang ke arah cangkir putih yang berada di tangan kirinya. Nadin sedang menjadikan cangkir itu sebagai penadah air kopi yang mengalir lembut keluar dari mesin kopi.

"Hehe, pesanan gue dong. Ingetin ya! Nanti gue bayar kok."

"Hahaha sip. Kirain punya siapa itu."

Nadin telah siap dengan secangkir kopi latte hangat di tangannya, untuk Nadin bawa serta ke ruang belakang kedai, "Gue makan dulu ya gi.."

"Iya. Lo bawa bekel nad?"

"lya." Nadun pun membalikkan tubuhnya berlalu melangkah pergi sekarang juga. Nadin mengangkat tinggi cangkir putih mendekati indera penciumannya, harum sekali kopi buatannyqini. Nadin tidak tahan jika harus meminumnya nanti. Sebelum memulai makan siangnya, akhirnya Nadin seruput dulu kopi latte hangat itu barang sedikit. Wah.. Nikmatnya..

Pada cuaca yang sangat dingin seperti sekarang ini memang paling cocok untuk menikmati secangkir kopi hangat. Pantas saja kedai kami tetap ramai pengunjung meski diluar hujan masih sering mengguyur. Mereka yang tetap harus beraktivitas namun jauh dari rumah tentu sangat terbantu dengan adanya kedai kopi di sekitar mereka.

Bekal makan siangnya kini telah tandas, yang tersisa hanyalah setengah cangkir kopi latte yang sudah tidak terlalu hangat lagi. Namun rasanya masih tetap nikmat. Kalau makan siang di ruang belakang seperti ini, aku bisa lebih santai, bisa selonjoran di lantai. Sedang kalau makan diluar waktu istirahat jadi terasa lebih cepat berlalu.

Sebelum aku benar-benar tertidur disini, lebih baik Nadin habiskan kopinya sekarang juga dan segera meninggalkan ruangan ini, kembali ke depan. Meski waktu istirahatnya masih tersisa sepuluh menit lagi.

"Lho, sudah nad istirahatnya?" tanya Gio padanya seraya matanya menatap ke arah arloji warna cokelat yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Nadin menguap dan sigap menutupnya dengan telapak tangannya, "Sudah ah, lama-lama di belakang jadi ngantuk gue."

"Jajan dong keluar.. Biasanya dulu makan diluar terus lo."

"Bosen juga gi, lagian bisa lebih irit, lumayan."

seduhan Kopi seorang barista [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang