"Lusa lo ke gereja lagi?" tanya Anindita dengan mulut penuhnya.
Nathan mengangguk tanpa berniat membalas perkataan Anindita. Pria itu sibuk menikmati makanan di tangannya sambil mengunyahnya dengan penuh nikmat.
Keduanya kini tengah menikmakti jajanan street food di sebuah tempat makan kaki lima. Sambil duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi, Anindita dan Nathan mengunyah makanan demi makanan yang mereka beli beberapa menit yang lalu. Sambil bertukar cerita dan memandangi orang yang berlalu lalang, tanpa sadar menghabiskan hasil perburuan mereka, dari cilok, cilor, cakwe sampai minuman boba setelah sebelumnya sempat singgah di restoran makan padang favorit keduanya.
"Gue boleh ikut lagi ngga lusa?"
"Uhuk... uhuk." Mendengar pertanyaan Anindita barusan, Nathan yang tengah meminum sisa es boba, tersedak saking terkejutnya. "Bukannya tadi lo tadi bilang takut log out pas gue ajak ke sana? Kenapa malah sekarang jadi ketagihan?"
Anindita mendesis, "Setelah gue pikir-pikir omongan lo tadi siang ada benernya juga sih, ngga ada salahnya gue ikut buat sekedar cari referensi. "Nathan menganggukan kepalanya, sembari menimbang-nimbang permintaan Anindita, "Gimana, boleh ikut ngga?"
"Lain waktu aja ya, Ta." Anindita mendesah kecewa mendengar jawaban Nathan. Wanita itu ingin tahu alasannya, tapi belum sempat ia mengungkapkannya, jawaban Nathan justru membuat otaknya berpikir kemana-mana. "Lusa nyokap gue ngajak ke panti jompo buat ngajar," lanjutnya.
"Ternyata ngga cuma restu Tuhan aja yang jadi penghalang," gumam Anindita membuat Nathan sontak menoleh ke arahnya.
"Maksud lo?"
Anindita menggeleng cepat. "Ngga papa."
"Ta..." panggil Nathan dengan menekankan suaranya, sengaja membuat Anindita merasa terdesak agar mengungkapkan apa yang ada dipikirannya. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, Anindita mengembuskan napas kasar lalu menatap Nathan yang juga tengah menatapnya, menunggu wanita itu berbicara.
"Ya itu tadi... lo ngga ngizinin gue ikut gara-gara lo ngga mau nyokap lo tau kan, tentang gue. Lo mau kita backstreet gitu kan, maksud lo?"
Nathan sedikit tercengang dengan penuturan Anindita barusan. Namun beberapa detik kemudian, senyumnya terukir bersamaan dengan salah satu tangannya yang terulur untuk mengacak-acak rambut sang kekasih. "Ternyata ngga cuma pengetahuan agama aja yang dangkal, tapi pemikiran lo juga."
"Maksud lo apaan?" Anindita tak terima dengan ucapan Nathan barusan.
"Gue ngga mau lo kecapean. Di panti jompo nyokap gue ngga cuma ngajar bikin kerajinan aja, tapi kadang juga suka bantuin masak buat makan malem. Belum acara doa bersama sama penghuni panti, makanya gue agak ragu kalo ngajak lo ikut," jelas Nathan.
"Itu... dari pagi sampai malem?"
Nathan mengangguk. "Kita biasanya berangkat dari rumah jam tujuh pagi, pulang bisa jam sepuluh kalo engga jam sebelas malem. Gimana, mau tetep ikut?"
Anindita berpikir sejenak.
"Pikirin lagi aja dulu ngga papa, besok kalo mau ikut tinggal bilang sama gue," ujar Nathan kemudian mengajak wanita itu pulang. "Udah yuk! balik, udah malem."
"Tunggu!" Baru saja Nathan bangkit dan berniat meraih tangan Anindita, tiba-tiba wanita itu malah menahannya hingga membuat tubuh jangkung pria itu kembali terduduk.
"Kenapa lagi? Lo masih pengen jajan lagi?" Anindita menggeleng. "Terus kenapa?"
"Lo pernah ngga sih kepikiran buat nyembunyiin hubungan kita?" tanya Anindita dengan wajah seriusnya. Wanita itu terlihat penasaran dengan sosok Ibu dari kekasihnya, bahkan Nathan bisa melihat dengan jelas raut wajah khawatir yang terpatri di wajah Anindita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date With Benefit
General FictionMenjatuhkan harga diri dengan menyatakan cintanya kepada seorang pria adalah harga mati yang harus dibayar oleh seorang Resyakilla Rumi Anindita. Walaupun begitu, Anindita sama sekali tak menyesalinya lantaran pria yang ia tembak adalah Nathaniel El...