Jangan lupa follow sebelum membaca. Happy reading!
"Ta, mau ke mana, pintunya di sana, ck," decak Nathan sembari menarik tangan Anindita yang berjalan terseok di koridor hotel. Efek dari alkohol yang tak sengaja ia minum sejam yang lalu, membuat wanita seperempat abad itu kehilangan kesadaran hingga membuat Nathan kewalahan membawanya kembali ke hotel. "Kalo tau bakalan kaya gini, gue ngga bakal tinggalin lo ke toilet tadi," sesal pria itu.
"Kepala gue kenapa pusing banget sih," racau Anindita.
"Ya gimana ngga pusing, lo mabuk, Dita. Makanya kalo minum tuh diliat-liat dulu. Masa lo ngga bisa bedain mana minuman alkohol sama bukan," omel Nathan. "Gue kan tadi udah bilang mau pesenin lo mocktail, masa minuman kaya gitu aja ngga tau." Walaupun pria itu tau kalau omelannya tak akan didengar Anindita, tetapi mulutnya tak berhenti menyerocos sembari memapah sang kekasih.
"Pegangan," titahnya. Tangan kirinya meraih tas milik Anindita guna mencari card key, sedangkan tangan satunya lagi menahan pinggang wanita itu agar tak merosot ke bawah. "Aishh, lo taruh di mana sih kartunya," gerutunya.
Setelah mengubek-ubek tas milik Anindita dengan mulut yang terus mendumel, akhirnya pria itu berhasil menemukannya. Ia bergegas membuka pintu kamar Anindita lalu membaringkannya ke ranjang. "Ternyata lo berat juga," celetuk Nathan. Tangannya ia gunakan untuk memijat tengkuk yang terasa pegal sedang satu tangannya bertengger di pinggang sembari memandangi Anindita yang bergerak tak nyaman.
"Pusing."
Mendengar hal itu, Nathan melihat sekeliling kamar mencari sesuatu. "Ini minum dulu," titah pria itu setelah mengambil sekaligus membuka botol mineral yang baru saja ia ambil dari atas meja. Ia duduk di tepian ranjang lalu menyodorkan botol itu kepada Anindita. "Pelan-pelan, Ta," kata Nathan saat beberapa air dari botol itu meluber dari sudut bibir Anindita.
"Haus," sahut Anindita setelah menghabiskan satu botol air mineral itu satu kali tandas lalu ia gunakan punggung tangannya untuk membersihkan lelehan air di dagunya.
Melihat itu, Nathan hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lain kali jangan gini lagi ya, lo ngga boleh minum-minuman kaya tadi."
Anindita menggeleng, "Ngga mau, pusing."
Nathan tersenyum mendengar penuturan tersebut. "Yaudah gue pergi dulu, beli obat buat ngilangin pengar lo."
"Ke mana?" tanya Anindita sembari menahan lengan Nathan. "Jangan tinggalin gue, gue ngga mau sendiri, hiks."
Tiba-tiba saja, wanita itu sesegukkan begitu Nathan hendak beranjak dari duduknya. "Gue cuma ke bawah sebentar, ngga lama," terangnya. "Lo tunggu di sini, ya?"
Anindita menggeleng. "Ngga mau, gue ngga mau ditinggal. Gue capek sendirian," tolak Anindita lagi layaknya seorang yang tengah mabuk. Tangannya berpindah memeluk pinggang Nathan dengan erat hingga membuat sang empunya kesulitan untuk bergerak.
"Yaudah, iya, iya. Gue ngga pergi, gue di sini sama lo." Pria itu akhirnya pasrah. Tangannya terulur mengelus rambut sebahu Anindita dan membiarkannya memeluk erat dengan posisi terduduk.
"Tidur ya, pegel nanti kalo lo kaya gini terus," ujar Nathan.
Aninidita menggeleng. "Ngga mau, entar lo pergi," tolaknya.
"Gue ngga ke mana-mana, Ta, gue di sini, nemenin lo."
Setelah mengatakan hal itu, akhirnya Anindita mau melepaskan pelukannya. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dengan kedua mata yang memicing. "Awas aja kalo lo ingkar janji," ujar Anindita sembari menujuk wajah Nathan dengan jari telunjuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date With Benefit
General FictionMenjatuhkan harga diri dengan menyatakan cintanya kepada seorang pria adalah harga mati yang harus dibayar oleh seorang Resyakilla Rumi Anindita. Walaupun begitu, Anindita sama sekali tak menyesalinya lantaran pria yang ia tembak adalah Nathaniel El...