"Gue baru tahu ternyata panggilan lo di rumah bukan Nathan, tapi Elang," ujar Anindita sembari memoles bibirnya dengan lipstick berwarna agak menyala. "Kok lo ngga pernah bilang sih dari awal, kan gue bisa ngikutin kebiasaan lo," lanjutnya.
"Emang harus? Toh, sama-sama nama gue juga kan?"
"Iya juga sih, tapi lo lebih suka gue panggil siapa?" tanya Anindita.
"Sayang," balas Nathan asal lantaran pria itu tengah fokus putar mengemudikan mobilnya menuju bioskop untuk memenuhi permintaan sang kekasih.
Anindita berdecak, ia tahu kekasihnya tak serius menjawabnya. Oleh karena itu, ia kembali memberikan pilihan kepada Nathan dengan lebih jelas. "Lebih suka dipanggil Nathan atau Elang? Itu pilihannya!"
"Terserah lo, Ta, senyaman lo aja."
"Ngga bisa gitu dong, kan –"
"Yaudah Nathan aja," potong Nathan cepat lantaran malas untuk berdebat dengan sang kekasih.
"Yaudah gue panggil lo Nathan," ujar Anindita menyetujui. "Tapi kalo dulu, mantan lo panggil apa?" lanjutnya.
Masih dengan fokusnya yang tertuju pada jalanan di depannya, Nathan menghela. Pertanyaan semacam ini membuatnya malas untuk menjawab. Bukan karena ia belum move on, tapi karena ia tak ingin Anindita badmood dan merusak kencan keduanya kali ini.
"Nathan?" panggil Anindita dengan suara yang ditinggikan bermaksud menyindir agar prianya menjawab pertanyaannya barusan.
"Hm."
"Nyebelin banget sih lo, gue nanya malah dikacangin." Anindita mengerucutkan bibirnya. Tangannya disedekapkan di depan dada pertanda ia kesal dengan respon Nathan.
"Apa, Dita sayang?"
"Ngga usah panggil gitu deh, gue ngga akan melting ya, kali ini."
"Iya, iya, maaf ngga lagi." Nathan mengalah pada akhinya. Lagian percuma saja, kekasihnya itu bukan tipe orang gampang dirayu dan mengalah begitu saja. "Dulu Nadin panggil gue Mas, kalo Hera..."
Nathan sengaja menjeda kalimatnya, lalu melirik Anindita sekilas. Mulutnya ragu melanjutkan kalimatnya karena khawatit Anindita makin badmood saat mendengarnya.
"Dia panggil lo apa, Nathan?" Tatapan Anindita kini fokus kepada tubuh Nathan yang masih fokus di belakang kemudi. Ia menunggu kelanjutan kalimat kekasihnya.
"Ngga ada. Kita panggil nama kita masing-masing," jawab Nathan pada akhirnya.
"Oh." Anindita mencoba menahan rasa cemburunya dengan memperlihatkan raut acuh tak acuhnya.
"Cuma panggilan, Ta, ngga usah cemburu gitu," ujar Nathan. Pria itu terlalu peka hanya dengan melihat respon kekasihnya. Tidak, hanya saja menurut Nathan, hampir semua wanita seperti itu. Apalagi jika mengingat track record Anindita yang mudah sekali marah.
Terbukti bukan? Sedari tadi, Anindita lah yang memulai pembicaraan soal masa lalunya, tapi pada akhirnya, wanita itu juga yang kebakaran jenggot dan kesal sendiri.
"Siapa yang cemburu, pede gila lo!" ketusnya.
Nathan tak membalasnya lagi. Jika sudah begini, ia hanya bisa menghela napas panjang dan memilih untuk diam daripada kekasihnya makin tak terkendali.
"Udah sampe, yuk!" ajaknya setelah mematikan mesin mobilnya.
"Ta... masih marah?"
"Siapa yang marah sih? Gue ngga marah," ketus Anindita.
"Ya terus kenapa masih diem kaya gitu?" Anindita masih tak merespon. "Jadi nonton ngga, hm?" lanjut Nathan dengan suara yang menyerupai bisikkan. Apalagi kini tubuhnya sengaja dimajukan hingga membuat jarak antara keduanya terkikis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date With Benefit
General FictionMenjatuhkan harga diri dengan menyatakan cintanya kepada seorang pria adalah harga mati yang harus dibayar oleh seorang Resyakilla Rumi Anindita. Walaupun begitu, Anindita sama sekali tak menyesalinya lantaran pria yang ia tembak adalah Nathaniel El...