Dengan wajah sendu, Anindita menyeret koper berwarna hitam miliknya ke stasiun. Wanita seperempat abad itu berniat kembali ke Bandung, tempat di mana sang kekasih bekerja untuk sementara waktu. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang, yang jelas semesta menuntunnya untuk menemui sesoarang yang sudah beberapa waktu belakangan ia anggap sebagai rumahnya. Ya, benar, seseorang itu adalah Nathaniel Elang Daneswara.
Tak hanya wajah sendu, ia menyembunyikan wajah lebam serta beberapa luka kecil akibat tamparan dan pukulan sang ayah dibalik masker berwarna hitam dengan topi berwarna senada yang menutupi sebagian wajahnya. Hal itu ia lakukan agar tak menjadi pusat perhatian di perjalanan.
Sepanjang perjalanan, ia hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong serta pikiran yang kemana-mana. Selain itu, ia juga menahan perih di wajah sekaligus menahan air mata yang terus-terusan mendesak keluar dari singgahsananya.
Sesaat sebelum kereta melaju, tiba-tiba terbesit keraguan di benak Anindita untuk membatalkan niatnya menyusul sang kekasih. Hal itu dikarenakan sebuah pesan yang memperlihatkan kondisi sang ibu pasca pertengkaran tadi siang baik dengan ayah maupun ibunya.
Ayudisa Batari Candramaya
(Mengirim foto Renjana menangis di sudut ruangan)
Puas udah bikin Ibu kaya gini?
Tanpa berniat membalasnya, Anindita justru mematikan ponselnya dan menaruh benda itu di dalam slingbag miliknya. Ia lebih memilih untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan tentunya dengan perasaan bersalah kepada ibunya.
"Maaf, Bu, Rumi udah bikin Ayah nyakitin Ibu." Gumaman itu keluar dari mulut Anindita yang tengah menyandarkan kepalanya di sandaran kursi sambil mendongakkan kepalanya ke atas dengan kedua tangannya yang mengusap wajahnya kasar.
Singkat waktu, Anindita pun sampai di depan hotel tempat Nathan menginap. Sebelumnya, ia memang berniat mengabari pria itu terlebih dahulu, tetapi ia terlanjur malas untuk menghidupkan ponselnya kembali. Hal itu ia lakukan karena tak mau berhubungan dengan siapa pun kecuali dengan kekasihnya. Bukan apa-apa, ia sangat paham dengan tabiat keluarganya. Di saat-saat seperti ini, ia sangat yakin kalau sang ayah sudah menyuruh orang-oranya untuk mencari tahu keberadaannya. Hal itulah yang membuat dirinya pergi dengan pakaian tertutup agar tidak dikenali suruhan ayahnya. Untuk saat ini, ia hanya ingin waktu tenang. Dan ketenangan itu hanya bisa didapatkan saat Aninidita bersama Nathan.
Anindita melirik arloji yang melingkar di tangannya. "Jam 8 malam, harusnya Nathan udah pulang," gumamnya.
Sesaat mengatakan hal itu, hal tak terduga terjadi begitu ia keluar dari taxi. Bukannya ketenangan yang ia dapatkan, pemandangan di depannya kini justru memperparah keadaannya saat ini. Jantungnya bahkan berdetak tak karuan ketika kedua netranya menangkap dua sosok yang sangat familiar berjalan ke luar dari lobby hotel.
"Nathan...."
Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat, salah satu tangan Anindita menutup mulutnya yang terbuka. Tubuhnya juga ikut mematung bersamaan dengan dadanya yang terasa kian sesak akibat pria yang kini berstatus kekasihnya memasuki hotel dengan seorang perempuan yang ia yakini adalah Nadin, mantan kekasih pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date With Benefit
General FictionMenjatuhkan harga diri dengan menyatakan cintanya kepada seorang pria adalah harga mati yang harus dibayar oleh seorang Resyakilla Rumi Anindita. Walaupun begitu, Anindita sama sekali tak menyesalinya lantaran pria yang ia tembak adalah Nathaniel El...