Ellen, seperti anggota baru dalam rumah ini. Hampir setiap hari ia datang kemari. Nadia tidak begitu mengerti apa alasan Rai memilih rumah sebagai tempat mereka berkencan. Padahal, selama ini pria itu justru jarang di rumah karena pergi ke tempat Ellen.
“Hai, Len,” sapa Nadia ketika Ellen masuk rumah. “Tumben setiap hari ngapelnya di sini.” Wanita itu sama sekali tidak keberatan dengan kehadiran Ellen. Justru, ia berani berkata seperti itu karena Ellen sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.
Wanita itu membalas sapa Nadia, lalu tertawa ringan, membuat dua lesung pipi cantiknya terbentuk. Tak lama kemudian, Rai ikut masuk setelah mengunci gerbang.
Gantian, Nadia menggoda pria itu. “Cowok emang gitu, Len. Awal-awal aja semangat ngapel, ujung-ujungnya tetep kita juga yang mampir.”
“Yee, nggak gitu, ya,” balas Rai.
“Terus? Ini aja Ellen dateng sendiri. Harusnya kamu jemput dong.” Nadia memberi nasihat.
“Katanya, Rai nggak mau tinggalin Cici sendirian di rumah, takut ada setan.” Ellen cekikikan melihat raut wajah Rai yang masam.
“Tenang aja. Kalo di rumah ini ada setan, setannya gangguin Davian dulu tuh, si paling takut setan.” Ia masih ingat benar bagaimana teriakan Davian yang histeris membuat telinganya pengang, ketika menyangka Nadia adalah hantu.
“Ya, dia itu setannya,” sahut Rai.
Nadia memandang Rai dengan aneh, tetapi tidak bertanya lagi. Sepertinya, hubungan kedua pria itu tidak baik-baik saja. Nadia bisa merasakannya. Ia tidak tahu alasan di balik itu, dan tidak ingin tahu juga. Kadang, sesama pria hanya meributkan hal sepele, lalu bisa kembali berteman seperti semula. Jadi, wanita itu tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Lagipula, daripada seperti dua orang bertengkar, Rai dan Davian justru terlihat seperti pasangan yang sedang merajuk.
Ellen memang pantas dinobatkan sebagai pacar terbaik karena mau saja menuruti keinginan Rai yang kekanak-kanakkan. Pria itu tidak mau meninggalkan Davian dan Nadia berdua di rumah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, katanya. Namun, ia juga tetap ingin bertemu dengan sang kekasih. Maka, jadilah Ellen yang mengunjungi Rai ke sini.
“Beb, aku nggak enak deh sama Cici kalo setiap hari ke sini,” ucap Ellen ketika mereka sedang berdua di ruang keluarga.
“Nggak enak kenapa?”
“Kalo aku di sini, Cici jadi di kamar terus karena nggak mau ganggu kita.”
“Ah, biasanya juga dia emang di kamar terus.”
“Ya beda dong, Beb. Aku juga begitu. Kalo ada tamu, pasti nggak leluasa di rumah. Meskipun tamunya saudara sendiri.”
Rai menggaruk kepalanya dengan gusar. Ia jadi serba salah. Setelah itu, terdengar suara pintu kamar terbuka, Davian muncul membawa gelas kosong di tangannya.
“Len,” sapa Davian sambil mengangkat dagu sekilas. “Temenin pacar nugas lagi, ya?”
Ellen memiringkan kepala. “Nugas?”
“Iya, ini lagi nugas ‘kan? Jadi satpam?” sindir Davian blak-blakan. Bukannya ia tidak tahu maksud dan tujuan Rai membawa Ellen ke sini.
Rai mendesah dan memalingkan wajah dengan malas.
“Ya, gitu deh. Takut ada maling,” jawab Ellen santai sambil melirik pacarnya. “Maling hatinya Cici,” sambung wanita itu tertawa-tawa mengompori Rai.
Davian mengisi gelasnya dengan air mineral, ikut tertawa. Kemudian, ketika hendak kembali lagi ke kamar, ia berkata, “Bilangin sama pacarnya, jaga yang bener. Kalo sampe kecolongan, malingnya nggak mau balikin lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts Intertwined [END]
General Fiction[RomansaIndonesia's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2024] Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil warisan orang tuanya adalah kegiatan seorang Nadia Harianto sehari-h...