Senin pagi yang begitu indah. Para pengganggu sudah kembali ke habitat masing-masing hari Minggu kemarin. Hanya ada ia dan pujaan hatinya, semalaman hingga pagi ini. Davian sama sekali tidak berniat melepas pandangan dari Nadia yang sedang fokus memasang dasi di leher pria itu. Kalau begini, tidak salah bukan, jika Davian menyebut mereka seperti pengantin baru?
Lantas, dengan satu gerakan cepat, Nadia menarik ujung dasi kecil untuk mengencangkan. Pria itu otomatis terkejut karena tercekik, lalu terbatuk-batuk heboh.
"Kenceng banget," gerutu Davian melonggarkan ikatan dasi.
"Abisnya kamu senyam-senyum, senyam-senyum. Mikir yang aneh-aneh, ya?" tuding Nadia dengan menunjuk hidung pria itu dan mengangkat sebelah alis.
"Nggak. Emangnya mikir kalo kita kayak suami-istri itu aneh? Nggak 'kan?"
Bukan kata-kata, melainkan sebuah pukulan yang dilayangkan Nadia pada lengan pria itu, sebagai balasan. Davian tergelak sembari mengusap bekas pukulan yang terasa pedas di kulitnya.
"Udah sana ngantor, nanti keburu telat."
Davian menghela napas berat, seberat hatinya meninggalkan Nadia. Wajahnya merengut.
"Kenapa? Masih mau bilang cuti lagi?" ucap Nadia sambil bersedekap. Pagi tadi, pria itu merengek tidak mau pergi ke kantor selama Nadia masih tinggal di sini. Namun, sepertinya Davian tidak bisa melakukan hal itu karena sejak tadi pun, ponselnya selalu berbunyi menandakan ada panggilan telepon. Semua orang mencari dirinya, menyangkut pekerjaan.
"Nggak cuti, WFH, Work From Home," ralat Davian, membuat Nadia harus memutar bola mata.
"Emang yakin kalo di sini bisa kerja?" Wanita itu menatap Davian dengan ekspresi menantang, bersama seringai tipis.
Pria itu menggeleng. "Jelas nggak. Kalo di sini, saya pengennya nempel terus sama kamu kayak kerak di pantat panci."
Nadia terkekeh geli mendengar perumpamaan yang dipilih pria itu. "Pantat panci banget nih?"
Tidak sempat menyahut kembali, Davian sudah terhipnotis oleh tawa renyah yang langka itu. Ya, langka, karena jarang sekali ia melihat Nadia tertawa lepas seperti ini. Maka, jika ia menjadi penyebab di balik tawa wanita itu, tentu saja Davian merasa menjadi orang paling hebat sedunia.
Diraihnya tangan Nadia setelah wanita itu menyeka sudut mata yang berair. "Nad, siap-siap gih."
"Siap-siap ke mana?" tanya Nadia di sela-sela sisa tawanya, mengira pria itu akan melontarkan lelucon lagi.
"Ikut ke kantor."
"Hah?" Ekspresi Nadia langsung berubah ternganga.
Pria itu menggeser ujung lengan kemeja untuk melihat jam. "Masih ada waktu lima belas menit. Cukup?"
"Ngapain saya ke kantor kamu? Nggak ah."
Wajah memelas langsung dipasang Davian untuk membujuk wanita itu. Ia bahkan meremas tangan Nadia sungguh-sungguh. "Nad, masa kamu tega sama saya?"
"Tega apanya?"
"Saya tuh nggak bisa jauh-jauh dari kamu, beneran. Gimana kalo saya nggak konsen? Kerjaan saya berantakan, nggak ada yang beres. Terus nanti Papa marahin saya lagi karena nggak becus. Saya diusir lagi. Kamu tega biarin saya begitu?"
Nadia menghela napas panjang. "Dari dulu kamu kerja nggak ada saya, beres-beres aja 'kan?"
"Beda dong, Nad. Dulu, saya jomblo. Sekarang, saya punya pacar. Mana besok udah mau balik lagi ke Bogor. Ayo dong, Nad. Sekali ini aja, temenin biar saya semangat kerja. Ya, ya, ya? Please."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts Intertwined [END]
General Fiction[RomansaIndonesia's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2024] Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil warisan orang tuanya adalah kegiatan seorang Nadia Harianto sehari-h...