33. Mengulang Waktu - Kilas Balik Kedua

663 58 7
                                    

Hati Nadia sedang berbunga-bunga hari ini. Tanpa terasa, satu tahun sudah berlalu sejak ia dan Alden resmi menjadi sepasang kekasih. Ia memandangi foto mereka berdua yang dipajang Nadia di atas meja. Alden selalu berkata bahwa ia merasa orang paling beruntung karena memiliki kekasih seperti Nadia. Namun, wanita itu justru merasakan sebaliknya. Dirinyalah yang lebih beruntung bisa bersama dengan Alden.

Pria itu telah menarik perhatiannya sejak Nadia pertama kali melihatnya di kampus. Sebagai mahasiswa baru, perhatian Nadia tersita sepenuhnya pada kakak tingkat yang terlihat begitu mencolok saat itu. Tidak akan ada yang menyangkal bahwa paras Alden memang idaman semua wanita. Namun, hanya sebatas itu saja. Nadia hanya sebatas mengagumi Alden.

Mereka tidak saling mengenal. Tidak pernah berbicara juga. Tidak ada sesuatu yang bisa menghubungkan mereka. Sampai ketika Nadia sudah lulus dan bekerja, pria itu mengirim pesan lewat media sosial miliknya, mengajak berkenalan. Sejak saat itu, nama Alden Wiratama resmi masuk dalam kehidupan Nadia.

Namun, meskipun sangat bahagia hingga sejak tadi ia tidak bisa berhenti tersenyum, sepertinya Alden merasakan hal yang bertentangan. Mata sayu, wajahnya juga muram. Sekarang, mereka ada di sebuah restoran. Makan malam untuk merayakan hari jadi mereka. Alden tidak banyak bicara. Tatapannya memang mengarah ke piring seolah fokus menikmati makanan, tetapi jiwanya seperti di tempat lain.

Nadia tidak berani protes dan memilih untuk memaklumi saja. Mungkin Alden masih sedih karena ditinggal papanya.

Omong-omong soal papa, ponsel Nadia berdering. Papanya menelepon.

“Halo, Pa?”

“Ci, lagi di mana?” Suara Indra Harianto terdengar di seberang telepon.

“Lagi di luar, makan.”

“Sama siapa?”

Sekilas, Nadia melirik Alden yang sekarang juga sedang melihat ke arahnya. Wanita itu belum bercerita bahwa sekarang ia memiliki kekasih. Tidak ada alasan khusus. Nadia juga bukan bermaksud menyembunyikan. Hanya saja, ia merasa sedikit canggung kalau mengatakan hal seperti itu pada papanya. Jauh lebih mudah jika bercerita dengan sang ibu yang sama-sama perempuan.

“Temen?” tanya Indra lagi.

Akhirnya, Nadia mengiyakan, dan mengalihkan pandangan dari Alden. “Mm. Papa udah makan?”

“Udah, baru aja selesai makan.”

“Udah minum obat?”

“Iya, abis ini.”

“Kok abis ini? Makan sekarang aja, nanti Papa lupa.”

Indra tertawa kecil lewat suaranya yang berat. “Cici… cici. Nggak kerasa, ya, kamu udah gede. Udah bisa marahin Papa.”

“Makanya kalo nggak mau dimarahin, teratur dong minum obatnya.”

“Iya, iya. Omong-omong, Papa telepon Cici mau bilang, nggak usah lagi transfer uang ke Papa. Uangnya disimpen aja buat Cici makan makanan enak, jalan-jalan. Ngapain kasih ke Papa?”

Sudah menjadi kebiasaan Nadia mengirimkan sebagian uang kepada beliau, sebagai tanda balas jasa, meski berapa pun nominalnya, tidak akan pernah bisa membalas semua yang telah dilakukan papanya. “Biar Papa juga bisa makan makanan yang enak, tapi harus sehat. Biar Papa bisa jalan-jalan juga.”

“Aduh, Ci. Papa mah udah tua, nggak bisa jalan-jalan. Papa juga masih bisa cari uang sendiri dari kedai. Kamu harusnya nikmatin hasil kerja kamu. Senengin diri sendiri. Jangan ambil susahnya aja.”

Hati Nadia begitu hangat mendengar kata-kata penuh kasih sayang dari Indra. Ia juga tersenyum. “Cici juga seneng-seneng kok di sini, nggak kesusahan.”

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang