29. Mana yang Benar?

1.1K 100 13
                                    

Benar dugaan Davian. Hujan semalam memang awet. Buktinya, Minggu pagi ini, awan gelap masih setia bernaung di atas ibukota. Banjir sudah surut, tetapi rintik hujan tetap membasahi jalan. Gemuruh-gemuruh ringan membuat tidur Davian dan Nadia semakin lelap. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul delapan pagi, tetapi keduanya masih nyaman memeluk satu sama lain, dengan kaki saling menyilang, berbagi kehangatan.

Getaran ponsel mulai mengusik Davian. Dahinya berkerut, sebagai tanda tak suka tidurnya diganggu. Ponsel itu tetap tidak mau berhenti, membuat ia berdecak ringan. Lambat-lambat, ia membuka mata. Lantas, hal pertama yang ia lakukan adalah terperanjat hebat karena mendapati bahwa gulingnya kini telah memiliki rambut panjang hitam dan tebal.

"WHOA!" pekiknya, sambil mendorong sesuatu yang ia pikir gulingnya.

Dalam sekejap, mata Nadia langsung terbuka lebar karena terkejut bukan main. Tubuhnya hampir jatuh dari ranjang. Ia bahkan langsung duduk tegak, memandang was-was seolah ada bahaya di depan mata. Namun, yang ia temukan adalah Davian dengan mulut terbuka, sedang melotot ke arahnya.

Detik berikutnya, kepala Nadia langsung terasa pusing karena bangun tidur tiba-tiba seperti tadi. Ia mengesah, memejamkan mata sambil memegangi kepala. "Aduh, Dav! Kenapa, sih, teriak-teriak?" bentaknya geram.

Kini, Davian baru mencerna segalanya. "M-maaf, saya kaget. Soalnya, nggak biasa tidur sambil meluk orang lain. Biasanya cuma meluk guling."

Mata Nadia terbuka kembali. Ia menatap Davian dengan tajam. "Meluk? Kamu meluk saya?" Ia menyilangkan tangan di depan dada. "Kamu bilang nggak akan ngapa-ngapain?"

Davian tergagap. Nadia jelas salah sangka. "Saya nggak ngapa-ngapain," sahutnya membela diri, sambil menggoyangkan tangan. "Mana saya tau, tiba-tiba ada kamu di deket saya. Orang kamu juga peluk saya."

"Saya peluk kamu? Nggak mungkin." Nadia membantah. "Ngapain saya peluk-peluk kamu?"

Dengan cuek, Davian mengangkat bahu. "Mungkin aja kamu cari kesempatan pas saya nggak sadar, lagi tidur."

Nadia membalas ucapan itu dengan lemparan bantal ke arah Davian, yang segera ditangkap oleh pria itu sambil tertawa. Kemudian, tawanya berhenti ketika melihat jejak perbuatan mereka semalam, masih berbekas di tubuh Nadia.

"Kenapa?" tanya wanita itu curiga, lalu menunduk, mengikuti arah pandang Davian. Matanya membeliak.

Tergesa-gesa, Nadia turun dari ranjang. Dengan cepat ia mencari saklar lampu, dan menghidupkannya. Kemudian, ia berlari kecil untuk melihat pantulan dirinya di depan cermin. Ketika Nadia menyibakkan rambut ke belakang, mulut wanita itu spontan menganga lebar. Kulit putihnya dari bagian leher hingga dada, dipenuhi bercak-bercak merah, beberapa hampir keunguan. Serta darah kering pada bibirnya.

"Oh, shit!" umpatnya pelan. Bagaimana cara menghilangkan ini semua?

Davian ikut berdiri di samping Nadia, menghadap ke cermin. Ia menyunggingkan senyum lebar. Puas dengan hasil karyanya pada tubuh wanita itu. "Cantik kok," godanya.

Dengan sekuat tenaga, Nadia memukul lengan Davian. "Gimana caranya saya pulang dengan penampilan begini?" gerutunya.

Sambil meringis dan mengusap bekas pukulan Nadia, pria itu menjawab, "Nginep aja di sini sampe besok lagi."

Nadia berkacak pinggang, menyipitkan mata, serta mengangkat dagu. "Nginep sampe besok, mau ngapain, hah? Kamu pikir, saya nggak punya rumah?"

Sengaja Davian melarikan pandangannya ke segala arah. "Ya... siapa tau kamu mau bales ninggalin tanda juga di saya," gumamnya.

Wajah Nadia memanas, malu, sekaligus menyesal telah membiarkan Davian berbuat semaunya semalam, karena pagi ini, pria itu tak henti-hentinya meledek. Ia mengentakkan kaki kuat-kuat ketika berjalan menuju lemari pakaian milik Davian.

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang