“Mau cari kado buat siapa, Ci?” tanya Davian saat mereka masuk ke toko perlengkapan bayi, di salah satu mall. Ia baru berani bertanya sekarang karena selama perjalanan menuju ke sini, wajah Nadia terlihat kusut, dan sudah pasti tidak mau diajak berbasa-basi.
“Buat Mbak Ningsih, sebentar lagi dia lahiran.”
Davian mengangguk paham, mengikuti Nadia ke bagian baju-baju bayi.
Tak lama, datang seorang pramuniaga menghampiri mereka. “Selamat datang, Koko, Cici, mau cari baju bayi?”
“Iya, Mbak,” jawab Nadia ramah.
“Anak Koko sama Cici umur berapa?”
Nadia dan Davian berpandangan sesaat. Kemudian, wanita itu menjawab, “Ehm, saya cari baju untuk newborn.”
“Oh, di sebelah sini, Ci.” Pramuniaga itu mengarahkan Nadia dan Davian ke tempat kumpulan baju untuk bayi baru lahir di sudut ruangan. “Anaknya cewek atau cowok, Ci?”
“Cowok.” Meski mulai merasa tidak nyaman, wanita itu tetap menjawab.
Lalu, sang pramuniaga memerhatikan perut Nadia, sementara wanita itu memilih baju. “Hamil berapa bulan, Ci?”
Tangan Nadia berhenti bergerak. Mata Davian melebar. Ia bisa merasakan aura berbeda terpancar dari wanita di sebelahnya. Tatapan Nadia berubah kosong. Pertanyaan sensitif. Perempuan mana yang tidak kesal ketika dikira sedang hamil, padahal sebenarnya tidak? Lagipula, apakah pramuniaga itu tidak bisa melihat bahwa postur tubuh Nadia cenderung kurus, dan perutnya yang rata?
“Buat kado, Mbak. Kita lihat-lihat dulu, ya. Nanti kalo butuh bantuan, kita panggil Mbak lagi.” Davian mengambil alih, sebelum Nadia meledak di depan pegawai toko tersebut.
“Oh, baik, Ko.” Pramuniaga itu membungkuk, sebelum pergi membiarkan Davian dan Nadia memilih sendiri.
Pandangan Nadia jatuh ke perutnya.
“Nggak usah diambil hati, Ci. Cici nggak kayak orang hamil kok. Mbaknya tanya begitu, mungkin karena kita kayak pengantin baru.” Pria itu berusaha menghibur.
Namun, yang ia dapatkan dari Nadia adalah ekspresi datar. “Cih,” cibir wanita itu sebelum kembali melihat-lihat.
Davian justru tersenyum dan dengan riang mengikuti langkah Nadia. “Anaknya Mbak Ningsih, cowok, Ci?”
“Iya.”
“Lho? Kirain cewek, soalnya Mbak Ning bilang kemaren ngidamnya pengen lihat saya.”
Nadia tertawa kecil. “Itu mah emaknya yang pengen lihat kamu, bukan anaknya. Mungkin Mbak Ning pengen muka anaknya mirip kamu.”
“Mana bisa begitu lah, Ci. Kalo nggak mirip bapaknya, ya mirip emaknya. Kalo mirip saya mah, bahaya. Bisa retak rumah tangga Mbak Ning,” sahut Davian asal.
Kali ini, Nadia tertawa lepas. Hal yang jarang sekali terjadi. Davian ikut senang. Wanita cantik itu jadi terlihat lebih manis.
Ponsel Davian berdenting beberapa kali. Ia mengambil benda itu dari saku untuk memeriksa.
Ronald
Sepi amat ini grupMario
Gue lagi dinner sama anak biniRai
Gue lagi bareng Ellen my lopRonald
Ngenes amat gue yang jomblo mesti baca chat ini
Woy @Davian keluar lo,
jomblo nggak usah sok sibukPria itu menyeringai saat mengetik, karena mendapat ide untuk menjahili Ronald.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts Intertwined [END]
Ficción General[RomansaIndonesia's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2024] Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil warisan orang tuanya adalah kegiatan seorang Nadia Harianto sehari-h...