42. Dua Penjaga Nadia

503 72 14
                                    

Ayo, vote dulu sebelum baca🤗🫰
.
.

Detik jam dinding berbunyi monoton berkali-kali, menemani dua saudara yang tengah bergeming. Rai dengan sabar menunggu satu-dua kalimat keluar dari mulut Nadia. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, sebelum mengembuskan perlahan.

"Pertama-tama, aku pengen kamu tau kalo aku sama sekali nggak berniat untuk... bunuh diri. Waktu itu aku lagi panik, dan nggak sengaja makan obat sebanyak itu," tutur Nadia, seakan bisa membaca pikiran Rai yang sudah berspekulasi macam-macam.

Satu fakta yang membuat Rai akhirnya bisa bernapas sedikit lega. Setidaknya, wanita itu tidak berpikir untuk membiarkan ia hidup sendirian di dunia ini.

"Sebenernya, udah lama aku nggak menyentuh obat-obatan itu. Tapi, akhir-akhir ini, sejak tau lagi tentang keberadaan mantanku, aku sering merasa nggak tenang, karena teringat masa lalu kami."

Alis Rai bertaut. Apakah mantan Nadia sering berkeliaran di sekitarnya? Mengapa ia tidak tahu? Namun, ia tidak bertanya, membiarkan kakaknya sendiri yang bicara hingga tuntas.

"Hubungan kami dulu cukup... rumit." Nadia melirik Rai sekilas, sebelum menundukkan kepala. "Aku pernah... hamil," akunya langsung, tanpa bertele-tele.

Tubuh Rai menegang. Ia sukses tercengang. Lalu, sepasang mata terpaku pada Nadia, sambil berharap wanita itu akan berkata kalau ia sedang bercanda.

"Tapi, sebelum kandunganku besar... aku keguguran, bahkan rahimku terpaksa harus diangkat. Habis itu, mama dia melarang hubungan kami. Semua itu nggak gampang buat aku, jadi aku ke dokter dan mulai minum obat-obatan itu."

Sebisa mungkin, Nadia menyampaikan semuanya dengan kalimat sederhana. Ia sengaja tidak membeberkan secara rinci, agar emosi Rai tidak meluap. Lihat saja, pria itu kini sudah memijat-mijat kening. Mungkin agar pikirannya tidak kusut.

"Udah lama aku mencoba berdamai dengan keadaan. Tapi akhir-akhir ini, pikiranku mulai kacau lagi setelah tau kalo mantan aku, Alden, ternyata masih satu ayah sama Davian. Jadi, ya, begini." Nadia menutup kalimatnya.

Pertanyaan pertama yang disampaikan Rai adalah, "Mereka paksa kamu gugurin kandungan?" Ia berusaha keras agar intonasinya terdengar setenang mungkin.

Satu detik, Nadia hanya memandang Rai, sebelum akhirnya menggeleng. "Itu terjadi begitu aja." Ia berbohong. Jika Rai tahu, ia pasti akan mengambil tindakan, dan Nadia tidak ingin terlibat lagi dengan wanita culas itu.

"Papa tau?"

"Nggak," jawab Nadia singkat.

Lama, sorot mata nanar itu mengarah pada Nadia, membuat dadanya nyeri. "Maaf," ucap wanita itu lirih, kembali melarikan pandangan dari Rai. "Aku nggak bisa menjaga nama baik keluarga. Aku udah ngecewain Papa, Mama, dan kamu. Papa dan Mama selalu bilang, seorang kakak harus jadi teladan buat adiknya. Tapi, aku gagal. Aku bukan anak baik-baik, kayak yang selama ini mereka bilang ke orang-orang. Maaf."

Air sudah berkumpul di pelupuk mata. Bibir Nadia mulai bergetar. Sesungguhnya, ia berharap Rai mengatakan sesuatu, tetapi pria itu diam saja. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Nadia juga masih belum berani menatapnya langsung. Tak lama kemudian, pria itu justru bangkit berdiri. Melangkah lebar menuju pintu, keluar, meninggalkannya.

Wanita itu meremas ujung selimut yang membungkus kaki. Betapa hancurnya hati Nadia melihat sikap Rai. Namun, ia tidak bisa menyalahkan adiknya. Sebab, satu-satunya orang yang paling bersalah di sini adalah dirinya sendiri.

Bersamaan dengan air mata yang luruh membasahi pipi, Nadia mulai tersedu-sedu dengan sedih. Memang sudah sepantasnya semua orang meninggalkan dirinya yang hina. Ini adalah konsekuensi yang wajib ia terima.

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang