50. Permintaan Meita

379 57 11
                                    

"Ci, sawi putih mau abis," seru Ocha dari dalam ketika Nadia sedang melayani transaksi.

"Ya," sahutnya singkat sebelum tersenyum pada pembeli dan mengucapkan terima kasih. Kemudian, wanita itu memanggil Rai untuk menggantikannya sebentar, sementara ia memasak di rumah.

Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu. Nadia kembali sibuk mengelola kedai, bersama Rai, serta dua pegawai kesayangannya yang hampir setiap hari adu mulut, Ocha dan Bimo. Tentu saja saat Nadia kembali, beberapa pelanggan menanyakan seputar kedai yang lama tutup.

Namun, ia tidak harus menjawab karena Rai, Ocha, Bimo selalu mendahului Nadia. Mereka sepakat mengatakan bahwa Rai dan Nadia pergi berlibur ke tempat keluarga di luar kota. Jawaban yang bagus.

Nadia juga sungguh berterima kasih kepada Ocha dan Bimo yang tidak bertanya lebih jauh tentang penyebab ia bisa koma dan sebagainya. Mereka tidak lancang mengganggu privasi Nadia, sehingga ia pun tidak harus mengungkit dan menceritakan hal-hal pahit lagi.

Oh ya, sekarang Nadia juga sedang menjalani terapi ke psikolog untuk memperbaiki mental yang sempat terguncang akibat masalah dan kejadian yang datang bertubi-tubi. Meskipun belum sembuh total, setidaknya sekarang ia merasa lebih baik.

Sawi putih cah telur, sudah selesai dimasak. Setelah memindahkan ke dalam wadah, Nadia membawa makanan itu untuk kembali dijajakan bersama lauk lain. Langkah wanita itu sempat terhenti ketika melihat siapa yang sedang mengobrol dengan Rai.

"Hai, Ci." Alice yang lebih dulu melihat, melambaikan tangan singkat.

Baru saja Nadia hendak membalas senyum itu, ketika wanita lebih tua di sebelah Alice ikut berbalik badan, bertemu tatap dengannya. Meita, mama Davian.

Tentu saja, ada hal penting yang ingin dibicarakan jika mereka berdua sampai menyusul Nadia ke Bogor seperti ini. Itu sebabnya, ia dan Alice kini duduk berhadapan di ruang tamu rumahnya, sementara Meita sedang makan di kedai.

Tampak canggung, Alice meneguk air putih hingga lebih dari setengah gelas.

"Jadi, gimana kabar kamu, Lis?" Nadia mengawali percakapan.

Alice mengusap kedua lututnya sambil berdeham panjang. "Bingung jawabnya, Ci." Ia tertawa ringan sesaat sebelum maniknya berubah sendu. "Sekarang, rasanya aku udah nggak punya siapa-siapa lagi. Ko Alden tuh satu-satunya orang yang paling deket sama aku. Nggak ada dia, rasanya kosong aja."

Tidak ada tanggapan dari Nadia. Ia hanya diam, menunggu jika Alice memang ingin bercerita. Ia akan mendengarkan.

"By the way, aku ke sini, mau kasih sesuatu sama Cici."

Nadia memiringkan kepala, memandang Alice dengan heran. Wanita itu merogoh tas, mengeluarkan selembar kertas kecil yang telah dilaminasi, kemudian mengulurkannya pada Nadia.

"Itu... nota punya Mama yang diem-diem aku ambil dan aku simpen bertahun-tahun."

Mata Nadia membelalak begitu melihat nama obat yang dulu Linda berikan, penyebab kegugurannya tertera di sana.

"Waktu itu, aku masih terlalu muda. Aku tau Mama melakukan kejahatan, tapi aku terlalu takut untuk speak up. Nggak ada seorang anak yang siap hidup tanpa ibunya, begitu juga aku. Tapi, sekarang aku nyesel. Kalo dari dulu aku cukup berani untuk membongkar semua perbuatan Mama, mungkin Ko Alden nggak..."

Alice menggigit bibir, tak sanggup melanjutkan kalimat itu, kemudian hanya menghela napas dan menundukkan kepala.

"Kenapa kamu kasih ini ke aku?" tanya Nadia tenang.

Kepala wanita itu terangkat lagi. "Kalo Cici mau menambah hukuman Mama— ya, meskipun Mama juga udah pasti dipenjara seumur hidup, Cici bisa pake nota itu sebagai bukti. Aku juga nggak keberatan untuk diinterogasi polisi."

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang