36. Mampu Seorang Diri - Kilas Balik Kelima

972 61 4
                                    

Sejak beberapa saat lalu, mata Nadia tidak berhenti bergerak. Ia menatap para calon ibu satu per satu. Saat ini, sedang berada di ruang tunggu poliklinik kandungan, ditemani Alden. Melihat beberapa wanita sudah memiliki perut yang besar, Nadia jadi membayangkan bahwa dirinya juga akan seperti itu beberapa bulan lagi. Membawa seseorang di dalam perutnya ke mana-mana, bagaimana, ya, rasanya? Ia tersenyum tipis sambil mengelus perut diam-diam. Jantungnya berdebar-debar. Gugup karena pertama kali datang ke dokter kandungan, tetapi juga antusias ingin melihat calon bayinya.

"Ibu Nadia Harianto." Panggilan seorang perawat menarik wanita itu dari lamunannya.

Ia dan Alden langsung bangkit berdiri, masuk ke ruangan dokter. Setelah bertukar sapa singkat dengan dokter, ia diminta berbaring ke atas ranjang, si perawat tadi mengoleskan gel di bagian bawah pusar Nadia, sementara Alden memerhatikan wanita itu.

Gel yang terasa dingin, alat USG yang digerakkan dokter dengan sedikit menekan perutnya, serta layar hitam putih yang menampilkan isi rahimnya, membuat jantung Nadia semakin berdegup kencang, mendengar penjelasan dari dokter.

"Bagus. Ini sudah terbentuk kantongnya. Kalo dilihat dari ukurannya, kandungan Ibu berumur 5 minggu. Bulan depan kita periksa lagi, ya. Kita dengar detak jantungnya," ucap sang dokter.

Helaan napas lega meluncur dari mulut Nadia yang setengah terbuka. Kandungannya sehat. Itu sudah cukup menenangkan Nadia. Selesai diperiksa, perawat membersihkan sisa gel dari perut wanita itu.

Lantas, Alden teringat akan jadwal kuliahnya. Bulan depan, ia sudah tidak ada di sini. Namun, ia juga ingin mendengar detak jantung pertama buah hatinya. "Kalo minggu depan periksanya, bisa, Dok?"

Si dokter laki-laki berambut putih itu terkekeh ringan, sambil menuju kursinya. "Minggu depan kemungkinan belum ada. Udah nggak sabar, ya, Pak?"

Dengan kikuk, Alden tertawa kecil. "Iya, soalnya bulan depan saya harus berangkat, ada keperluan."

"Oh, ya, nggak masalah. Ibu tetap datang ke sini untuk diperiksa. Nanti saya bantu rekam biar Bapaknya bisa dengar juga."

Senyum pria itu melebar, lalu mengangguk setuju.

Selanjutnya, sang dokter menulis resep sejumlah obat yang harus Nadia konsumsi, mengingatkan soal apa yang tidak boleh dilakukan di usia kehamilan yang masih muda, juga tentang makanan yang harus dipantang. Wanita itu menyimak dengan seksama dan mencatat semua hal itu dalam kepalanya.

Setelah keluar dari ruangan dokter, sampai mereka di dalam mobil menuju ke tempat makan pun, Nadia tidak berhenti tersenyum menatap lembaran hasil USG di tangannya. Sesekali, Alden melirik dan ikut tersenyum juga.

"Kamu maunya anak kita cewek apa cowok?" tanya Alden sambil memerhatikan jalan.

"Terserah, dua-duanya nggak masalah buat aku. Kalo kamu?"

"Aku maunya cewek. Pasti dia cantik, kayak kamu." Punya satu Nadia saja sudah membuatnya bahagia, apalagi ditambah versi Nadia kecil. Kebahagian Alden akan berlipat-lipat.

Senyum Nadia pelan-pelan pudar. "Kalo perutku udah besar, mungkin aku nggak cantik lagi. Badan aku akan melar. Pipi aku makin tembem. Kaki aku akan bengkak."

"Nggak masalah. Selama masih Nadia Harianto, gimana pun penampilan kamu, selalu kelihatan cantik di mata aku."

Sudut bibir Nadia kembali tertarik, tersipu. "Kamu udah mulai packing? tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.

"Belom."

"Kurang dari dua minggu udah berangkat lho, kok belom siap-siap?"

"Lagi ngumpulin niat dulu," ujar Alden cengengesan. "Aku masih berat mau ninggalin kamu lagi hamil gini."

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang