41. Tidak Akan Pergi

388 65 19
                                    

Ayo, vote dulu sebelum baca🤗🫰
.
.

Kisah yang diceritakan Alden, membuat Davian terperangah. Darahnya mendidih. Tega sekali Linda melakukan semua itu pada Nadia. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan seberat apa hari-hari yang wanita itu lalui seorang diri. Pasti muak sekali terbangun setiap pagi hanya untuk menyadari bahwa dirinya tidak lagi utuh.

Murka, pria itu bangkit dari kursi, berjalan tergesa ke tempat Alden. Lantas, ia mencengkeram kerah leher Alden, hingga mereka berdiri berhadapan. Tatapan bengis itu seakan siap mengubur orang di hadapannya hidup-hidup.

"Kenapa lo diem aja Nadia digituin, Anjing?!" teriak Davian geram.

Sebaliknya, ekspresi Alden tampak tenang, seolah sudah memprediksi peristiwa seperti ini. Ia juga tidak melawan. Dalam diam, Alden membalas tatapan Davian. Pria itu keliru. Alden jelas tidak duduk manis setelah mamanya sendiri mencelakai Nadia.

Adiknya, Alice, sempat menyaksikan pertengkaran hebat antara ia dengan Linda. Wanita itu tidak langsung mengaku, menuduh Nadia berbohong dan hanya berusaha mengadu domba mereka. Namun, setelah Alden mendesak, Linda jujur juga.

Alden mengatakan dengan tegas bahwa ia tidak akan melanjutkan pendidikan, apalagi menjadi bagian dalam keluarga Pratama. Sebab, hal itu yang menyebabkan sang ibu berubah menjadi orang jahat yang tak pernah Alden kenal. Namun, Linda tetap bersikeras menentang. Wanita itu bahkan nekat lompat dari balkon karena Alden tidak mau mengalah. Kejadian itu, tidak kalah mengerikan. Melihat ibu kandungnya tak segan mengambil nyawa sendiri, di depan mata, menyisakan trauma bagi Alden.

Namun, tidak ia jelaskan perihal ini pada Davian. Pria yang sedang diliputi amarah itu, dijamin tidak punya waktu untuk memberi simpati pada Alden. Maka, ia diam saja.

"Masa depan Nadia hancur gara-gara nyokap lo. Terus, guna lo sebagai pacarnya dulu, apa? Pengecut lo, Bangsat!" Davian melepas cengkeraman, sekaligus mendorong Alden dengan kasar.

Alden membenarkan letak dasinya, bicara dengan tenang. "Gue emang pengecut. Gue nggak bisa berbuat apa-apa, sementara Nadia berjuang sendiri." Ia berhenti sesaat. "Gue nggak tau, apakah gue berhak ngomong begini, tapi... kalo lo emang sayang sama Nadia... tolong, buat dia bahagia," ucap Alden pelan, tulus.

Perkataannya terdengar seperti sebuah permohonan. Ia ingin Nadia bahagia. Itulah yang dulu menjadi tujuan hidup Alden. Meskipun yang terjadi, justru sebaliknya. Karena ia, hidup Nadia menjadi jauh sekali dari kata bahagia.

Davian tertawa sumbang. "Gimana gue bisa bikin dia bahagia, kalo dia selalu teringat lo setiap ngelihat gue? Dia bahkan bilang tersiksa karena kehadiran gue."

Atas pertanyaan itu, Alden juga tidak menemukan jawaban. Sepertinya, selama ia masih berada di sini, kebahagiaan wanita itu selalu terhalang olehnya. Sebuah pertanyaan baru terbit di dalam hati. Kalau sampai sekarang Nadia begitu menderita, apa sebaiknya ia menghilang saja?

***

Beberapa hari, Davian menyibukkan diri dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk mengurusi perasaannya. Pagi, siang, sore, malam, subuh pun ia selalu duduk menghadap layar laptop. Nadia sudah meminta untuk tidak menemuinya lagi. Davian berusaha menyanggupi. Namun, tiba juga masa di mana pria itu tidak bisa lagi menahan rindu. Apalagi, pengalaman pahit Nadia yang baru ia ketahui, terus meresahkan hati dan pikirannya.

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang