18. Sepotong Cupcake Menjadi Saksi

1.3K 115 9
                                    

Sinar matahari pagi mengintip melalui celah tirai jendela kamar, membangunkan Davian dari tidur nyenyak. Matanya terbuka separuh untuk sesaat, lalu terpejam lagi. Tak lama kemudian, ia mengucek mata, lalu meregangkan tubuh diikuti erangan pelan, tanda siap menyambut hari ini. Davian menyibak selimut yang membungkus tubuhnya semalaman, sebelum terjaga penuh.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia tidur sekarang, sama seperti kamar apartemen miliknya yang belum pernah ia tinggali sejak diusir Pratama. Namun, tanpa repot berpikir, pria itu langsung keluar kamar untuk mengambil air minum, seperti kebiasaannya setiap pagi.

Ada pemandangan lain hari ini. Apartemen yang biasa sunyi dan kosong, kini bertambah satu penghuni yang sedang asyik memasak. Wanita dengan rambut dikuncir satu, dan memakai celemek, tidak sadar akan kehadiran Davian karena terlalu fokus meracik makanan di dalam wajan.

“Pagi,” sapa pria itu mendekatinya.

Wanita itu menoleh, tersenyum manis padanya. “Sayang, udah bangun? Saya lagi bikin sarapan untuk kita.”

Sungguh pagi yang indah bagi seorang Davian, diberi senyum dan panggilan seperti itu dari Nadia. Apakah ia sedang bermimpi? Sepertinya begitu. Ia sampai terpaku di tempatnya berdiri, tanpa tahu harus berbuat atau berkata apa. Rasanya ia tidak ingin melakukan apa pun. Kalau berbuat kesalahan, ia takut terbangun dari mimpi indah ini.

“Bengong aja? Mana ritual paginya?” tagih Nadia sambil mengaduk spatula.

“Ritual pagi?” tanyanya balik.

“Udah lupa, ya, ciumin istrinya setiap pagi?” Wanita itu mulai sedikit merajuk, ditandai pipinya yang menggembung. Menggemaskan sekali.

Tidak masalah, ‘kan, jika ia melakukan permintaan Nadia yang mengaku sebagai istrinya? Toh, ini hanya mimpi.

Davian langsung bergerak memeluk erat tubuh ramping Nadia dari belakang. Terima kasih, Tuhan, karena telah memberi kesempatan padanya memeluk pinggang Nadia itu saat dibonceng dari motor beberapa waktu lalu. Kini, adegan dalam mimpinya terasa realistis.

Tak lupa, pria itu mengecup pipi Nadia yang halus.

“Udah? Sekali doang?”

Ditantang seperti itu, Davian segera menghujani kedua pipi, kening, dan hidung wanita itu dengan kecupan tanpa henti sampai sebuah tawa renyah lolos dari mulut Nadia. Ia lantas meletakkan dagu di pundak wanita itu, mengeratkan pelukan, sampai istri dalam mimpinya itu selesai memasak. Senang sekali rasanya bisa bermanja pada Nadia tanpa merasa canggung.

“Wangi banget lontong sayurnya. Saya jadi makin laper,” ucapnya ketika wanita itu mulai menuang kuah lontong sayur dari wajan ke dalam mangkok besar.

Nadia memindahkan mangkok itu ke meja makan, masih dengan Davian menggelayut di belakangnya. Kemudian wanita itu membebaskan diri dari rengkuhan. “Ya udah kamu makan duluan aja. Nanti saya nyusul abis mandi.”

“Nggak makan dulu?” Davian duduk di meja makan dengan tatapan sedih.

“Saya belom laper.”

“Mandinya nggak lama, ‘kan?”

“Nggak. Saya mah mandinya lama kalo bareng sama kamu doang.” Nadia mengerling nakal, membuat Davian panas dingin. Dari mana sebenarnya percakapan seperti ini bisa timbul? Apakah memang sudah tertanam di bawah alam sadarnya?

Lantas, ia menyaksikan Nadia pergi ke kamar yang sama, yang ia tiduri tadi. Suasana langsung berubah hampa. Sudah, begitu saja? Apa kehadiran Nadia hanya sekali lewat di mimpinya? Kalau hanya godaan, Davian juga sering mendengarnya sehari-hari. Ia masih ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan wanita itu. Ia tidak mau mimpi indah berakhir di sini.

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang