44. Sebuah Persiapan

475 69 2
                                    

Matahari perlahan menyingsing. Cahayanya menyusup di sela tirai yang melapisi jendela kamar. Nadia mengerjapkan mata sampai kesadarannya penuh. Tangannya meraba ke segala sisi kasur untuk menemukan ponsel.

Setelah melirik jam yang tertera di layar, Nadia menutup mata kembali. Beberapa detik kemudian, ia paksa tubuhnya untuk bangun dari kasur luas yang begitu nyaman. Tidurnya sangat nyenyak semalam. Entah karena tubuhnya yang masih kurang fit, atau karena beban-beban yang selama ini ia pikul, mulai lepas satu per satu.

Ia meregangkan leher ke kanan-kiri hingga sendinya berbunyi. Kemudian, terdengar helaan napas bahagia menyambut pagi, serta sebuah senyuman lebar dari Nadia. Wanita itu segera turun dari kasur, merapikan tempat tidur, menyibak tirai sambil menguap, pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi, mencuci muka, mematut diri pada cermin, serta menyisir rambutnya yang acak-acakan. Setelah itu, ia meninggalkan kamar.

Begitu keluar, pandangannya langsung tertuju pada sofa kosong di ruang keluarga. Hanya ada selimut yang sudah terlipat rapi, serta sebuah bantal yang digunakan Davian semalam. Ke mana pria itu?

Bunyi peralatan makan di dapur mengalihkan perhatian Nadia. Segera, ia menuju ke arah suara. Senyum kembali tersungging di wajah Nadia ketika menemukan Davian di sana, sedang sibuk menyiapkan bubur di dua buah mangkok, tanpa menyadari kehadirannya.

"Cie, rajin banget pagi-pagi udah siapin sarapan," celetuk wanita itu ketika mendekat ke arah Davian.

Sontak, pria itu menoleh sekilas, mengulas senyum, kemudian lanjut menuangkan topping pada bubur mereka. "Pagi, Nad. Nyenyak nggak tidurnya? Udah enakan?"

Nadia mengangguk senang, memerhatikan kegiatan pria itu di sebelahnya. "Mm. Kamu?"

"Saya?"

"Nyenyak tidurnya?"

Selesai menyajikan bubur yang baru saja dibeli lewat aplikasi online, Davian segera membasuh tangan di wastafel cuci piring. "Nggak juga."

"Karena tidur di sofa, ya?" Nadia membuntuti pria itu.

"Oh, nggak, bukan itu." Davian mengeringkan tangan pada lap yang tergantung di dekat sana. "Saya nggak bisa tidur, kepikiran omongan kamu semalem."

Tanpa memberi respon, Nadia justru mengangkat alis, lalu memiringkan kepala.

Akhirnya setelah selesai mengerjakan semuanya, sekarang Davian bisa benar-benar fokus bicara berhadapan dengan wanita itu. "Kamu... suka sama saya?"

Diam selama beberapa saat, Nadia justru bertanya balik, "Emang saya ada bilang gitu?"

Pria itu berdeham. Baiklah, jika Nadia tidak ingin mengakui secara langsung, ia juga tidak keberatan untuk menjelaskan. "Kamu bilang suka sama scorpio yang pantang menyerah kayak saya. Itu artinya kamu suka sama saya, 'kan?"

Tatapan wanita itu mengarah ke langit-langit. Ia mengetuk dagu dengan ujung telunjuk. "Hmm... nggak tau juga, ya," ujarnya sambil mengambil kesempatan untuk melipir dari sana.

"Eh, mau ke mana? Jawab dulu pertanyaan saya, Nad." Tampak tidak puas, Davian mengekori Nadia. Namun, wanita itu malah berjalan lebih cepat, bahkan hampir berlari kecil untuk menghindarinya. Tentu saja secepat apapun langkah wanita itu pasti akan kalah dengan Davian. Maka, ketika ia berhasil menggapai Nadia, tanpa membuang kesempatan, Davian langsung memeluk kaki wanita itu dari depan, lalu mengangkatnya dengan mudah.

Nadia terpekik pelan. Tangannya spontan bertumpu pada kedua bahu pria itu. Kemudian ia tertawa-tawa, pasrah saja ke mana Davian akan membawanya, tanpa memberikan perlawanan sedikit pun.

Pria itu akhirnya mendudukkan Nadia di countertop dapur. Ia meletakkan tangan di samping paha wanita itu, kemudian memasang wajah serius. Dengan wajah yang bisa berhadapan langsung dengan Nadia, ia menatap wanita itu lurus-lurus. "Jawab dulu. Kalo nggak, malem ini saya nggak bakal bisa tidur lagi."

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang