30. Pemicu Trauma

721 74 5
                                    

Lewat jendela, Rai mengintip keluar ketika mendengar gembok gerbangnya diketuk beberapa kali. Mata pria itu menyipit ketika melihat temannya ada di sana. Beberapa jam lalu, Davian baru saja mengantar Nadia. Lantas, mengapa sekarang ia ke sini lagi?

“Kok balik lagi?” tanya Rai kepada sang tamu. Sedetik kemudian, ia menyadari ada yang berbeda dari sorot mata pria itu.

“Bisa panggilin Nad— cici lo?”

Bagaikan punya radar tak kasat mata, Rai langsung tahu ada yang tidak beres jika gaya bicara Davian berubah serius begini. “Masuk aja,” ucapnya sambil membuka pintu.

“Nggak usah. Gue tunggu di sini aja. Nggak lama juga.”

Rai mengangguk-angguk, tidak berusaha bertanya lebih banyak karena sepertinya Davian juga tidak ingin lama-lama bercengkrama dengannya.

Di dalam kamar, Nadia sedang menikmati dunianya sendiri. Berbaring di kasur, menggunakan penyuara telinga, menyetel lagu-lagu dalam daftar buatannya dengan volume besar. Begitu cara Nadia menenangkan diri dari keriuhan di dalam dadanya, setiap kali teringat kejadian semalam. Namun, sebesar apapun suara yang menyapa gendang telinga, tak mampu mengusir peristiwa itu dari dalam kepalanya.

Jemari Nadia bergerak menyentuh bibir. Bagaimana ini? Sepertinya, setiap detail pergerakan Davian di sini, di bibir ini, akan terus berputar dalam benaknya, entah sampai kapan. Astaga, rasanya Nadia bisa gila!

Bersamaan dengan itu, pintu kamar digedor kencang oleh Rai. Pria itu bahkan teriak-teriak memanggil namanya. Ah, mengganggu saja.

“Apaan, sih, Rai?” Nadia balas berteriak dari dalam, sambil membuka satu penyuara telinganya.

“Ada Davian di depan, nyariin kamu.”

Sebelah alis Nadia terangkat. Bukankah belum lama, pria itu memberi pesan bahwa ia sudah sampai di rumah? Namun, Nadia tetap beranjak dari kasur, tak lupa menggunakan syal di leher.

Seperti yang sudah diduga, Rai memandang Nadia heran begitu wanita itu keluar dari kamar.

“Ngapain pake syal? Panas begini.”

Tentu saja, dosa semalam belum ketahuan oleh Rai karena Nadia pulang mengenakan hoodie Davian, setelah itu ia berganti baju miliknya sendiri dan mendekam di kamar sampai sekarang.

Membuat gestur batuk-batuk dan flu, Nadia berkata dengan suara sengau palsu. “Aku lagi nggak enak badan.” Ia juga pura-pura lemas agar Rai percaya.

“Udah minum obat belom?”

“Iya, udah.” Nadia cepat-cepat menuju ke depan rumah, sebelum kecurigaan Rai muncul.

Lantas, ketika bertemu dengan Davian yang sedang memandang kosong ke bawah, Nadia menyadari rambut pria itu tampak acak-acakan, tak jauh berbeda dengan ekspresinya yang muram.

“Kenapa, Dav?” tanyanya menghampiri pria itu.

Kepala Davian berputar cepat, ke arah sumber suara yang sedang ia tunggu. Padahal banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi mendadak kehilangan kata-kata begitu melihat Nadia. Jadi, ia hanya memandangi wanita itu tanpa berkata apa-apa.

Are you okay?” tanya Nadia khawatir.

Davian menunduk. Setelah itu, ia menggeleng pelan. “Kamu… pernah pacaran?”

Nadia mendengkus singkat, hampir tertawa. “Tiba-tiba banget nanyain pacar?” Apakah pria itu kembali lagi hanya untuk menanyakan sesuatu yang sebenarnya bisa ditanyakan lewat pesan?

Setelah mengangkat kepalanya, mimik wajah Davian pun tidak berubah. Ia mengangguk.

“Pernah.” Nadia menjawab jujur.

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang