Hujan turun yang datang begitu deras disertai angin kencang, mengguyur kota Jakarta yang seharian ini terik. Kebetulan, Davian memilih meja makan di dekat jendela sehingga Nadia bisa menatap titik-titik air di kaca, sembari menunggu pria itu kembali dari toilet.
Restoran ini terletak di lantai teratas, sehingga Nadia bisa menurunkan pandangan, melihat air mulai menutupi jalan raya. Samar-samar terdengar klakson tak sabaran dari beberapa mobil karena deretan kendaraan tidak bergerak. Apa yang diharapkan dari para pengendara itu? Berharap bunyi klakson akan mengosongkan jalan seketika? Bodoh sekali.
Malam yang dingin akibat hujan, pemandangan kota dari ketinggian, lalu lintas padat. Nadia seperti merasakan deja vu.
“Udah pesen?” Davian datang dengan wajah berseri-seri, menyadarkan Nadia.
Ia tersentak, segera menegakkan tubuh. “Belom, bareng kamu aja,” sahutnya, mengukir senyum.
Davian meraih buku menu, membuka tiap halamannya. “Mau steak? Steak di sini enak lho.”
Wanita itu mengangguk. “Boleh.”
“Sirloin atau ribeye?”
“Ribeye. Medium well, ya.”
“Oke. Side dishes-nya mau apa?” Kini, Davian menyodorkan buku menu pada Nadia, membiarkan wanita itu membaca sendiri.
Selama Nadia berpikir untuk memilih beberapa opsi menu yang tertera di buku, Davian menggunakan kesempatan itu untuk memandangi wanita di hadapannya. Pencahayaan ruangan sedikit temaram, tetapi anehnya Nadia tetap bersinar. Setidaknya, begitu menurut Davian, seolah-olah tidak ada orang lain di sini, selain mereka berdua.
“Creamed spinach, mushroom sauce, sama baby potato,” putus Nadia, kemudian mengangkat wajah.
Davian segera mengacungkan tangan memanggil seorang pramusaji untuk mencatat pesanan mereka. “Saya mau pesen dry aged ribeye, medium well, dengan side dishes creamed spinach, mushroom sauce, dan baby potato-nya satu porsi. Satunya dibuat sama aja, tapi diganti mashed potato.”
“Baik, ada lagi?” tanya sang pramusaji setelah memasukkan pesanan di tablet yang ia bawa.
“Red wine dua gelas. Udah, itu aja.”
Pramusaji itu mengulang kembali pesanan mereka, diakhiri dengan ucapan terima kasih oleh Davian.
“Serius pesen wine? Kamu ‘kan mau nyetir.” Nadia memastikan setelah si pramusaji telah pergi.
“Saya nggak minum banyak kok. Cuma mau angetin badan aja. Ujan-ujan gini, enak minum wine.”
Davian melempar tatapan ke luar jendela sejenak, kemudian melihat ke arah Nadia. Sepertinya hujan kali ini akan awet. Wanita itu memakai baju pendek, dengan bagian atas yang terbuka di ruangan yang mulai terasa semakin dingin. “Kamu nggak kedinginan?”
Nadia menggeleng tegas.
“Kalo kedinginan, bilang sama saya.”
Salah satu sudut bibir Nadia tertarik membentuk seringai. “Memangnya kamu mau apa? Kasih jas kamu buat saya, kayak di drama-drama gitu?” Nadia bergurau dengan nada mengejek.
“Ngapain saya kasih jas saya? Mendingan saya peluk langsung. Lebih cepet anget daripada pake jas. Kamu juga pasti suka.”
Seringai itu lenyap diganti sebuah helaan napas. “Davian,” sebut Nadia dengan nada menegur.
“Iya, saya bercanda. Eh, tapi nggak juga, sih, saya serius.” Pria itu masih menanggapi main-main, sementara raut wajah Nadia telah berubah.
Setelah menghela napas, wanita itu berkata pelan, “Dav, kamu tau ‘kan? Saya nggak mungkin balas perasaan kamu.” Sorot matanya tampak sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts Intertwined [END]
General Fiction[RomansaIndonesia's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2024] Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil warisan orang tuanya adalah kegiatan seorang Nadia Harianto sehari-h...