37. Kehilangan Banyak Hal - Kilas Balik Keenam

567 56 20
                                    

Hari ini, Nadia terpaksa menggunakan hak cutinya kembali. Ia bahkan sulit beranjak dari kasur. Entah mengapa pagi ini kram yang menyerang perut terasa lebih parah dari sebelumnya. Hilang timbul pula. Perutnya seperti diremas-remas. Rasanya sepuluh kali lebih sakit daripada kram saat menstruasi. Apakah ini normal terjadi pada ibu hamil? Firasatnya mengatakan, tidak.

Ia paksa tubuhnya bangkit untuk pergi berobat. Namun, tepat ketika berdiri, Nadia merasakan ada cairan merembes membasahi celana dalamnya. Matanya membelalak seketika. Wanita itu terperanjat ketika menemukan segumpal darah ada di sana. Dengan tangan yang gemetar, ia mencoba menghubungi Alden. Otaknya yang tak bisa berpikir jernih untuk sekarang, lupa bahwa mungkin saat ini pria itu sedang tidur dengan nyenyak karena perbedaan waktu yang cukup jauh.

Napas Nadia mulai memburu karena takut. Ketika telepon tidak terangkat, ia baru teringat akan Linda. Segera, ia menghubungi wanita itu. Untunglah, Linda menjawab.

"Ii... itu... aku berdarah." Kalimat Nadia sungguh belepotan.

"Berdarah kenapa?" seru Linda panik.

Ia menggeleng kuat-kuat. "Nggak tau, ini keluar darah." Nadia mulai menangis, sambil menggigit ujung jari.

"Ya udah, kamu tunggu, ya. Ii langsung ke sana, kita ke rumah sakit."

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Linda untuk menjemput Nadia dan mengantar ke rumah sakit. Meskipun selama dalam perjalanan, wanita hamil itu tidak bisa lagi memikirkan apapun selain menahan rasa sakit karena perutnya seperti ditusuk-tusuk, mulas bukan main.

Sesampainya di rumah sakit, ia masih harus bersabar menunggu kedatangan dokter. Berkali-kali Nadia meringis, bahkan menggigit bibir bawahnya, berharap sakit itu reda. Tak lama kemudian, seorang dokter muda terbirit-birit menghampiri ranjang Nadia, didampingi seorang perawat yang menyiapkan alat ultrasonografi.

Dengan sigap, sang dokter menggerakkan alat itu di perut bawah Nadia, sambil menatap layar dengan wajah datar. Hal itu tentu saja membuat kecemasan menyelinap ke dalam dada Nadia.

"Kita coba USG transvaginal, ya, supaya lebih jelas." Sejujurnya, dokter itu juga masih berharap penglihatannya salah. Maka, ia mencoba metode lain untuk memeriksa.

Tanpa pikir panjang, Nadia langsung mengangguk. Apa saja, terserah, asalkan ia bisa memastikan kandungannya tidak apa-apa.

Meskipun tidak nyaman dengan metode ini, Nadia mengabaikan perasaan itu, sebab paniknya jauh lebih besar. Raut wajah sang dokter membuat wanita itu resah. Sampai sang dokter berdeham, "Maaf, Bu. Kalau dilihat dari hasilnya, janin Ibu udah nggak ada, tinggal kantongnya aja."

Nyeri yang tadinya berkumpul di perut Nadia, pelan-pelan bagaikan menjalar juga ke dalam hatinya. Sebutir air mata mengalir dari sudut mata. Dokter itu pasti salah, 'kan? Bukankah minggu ini seharusnya ia bisa mendengar detak jantung anaknya? Ingin Nadia menyerukan kalimat-kalimat itu, tetapi seluruh tubuhnya berhenti berfungsi.

"Jadi, sekarang harus gimana, Dok?" Linda harus mengambil alih karena wanita itu mendadak gagu.

"Mau nggak mau, kita harus ambil tindakan kuret, untuk membersihkan rahim Ibu Nadia."

Tatapan nanar terpancar di kedua mata Nadia. "Nggak bisa diperiksa sekali lagi, Dok? Nggak mungkin janinnya nggak ada. Saya udah jaga dia baik-baik kok," ucapnya dengan lirih, menuntut, juga putus asa.

Dokter itu memandang Nadia dengan iba. "Keguguran bisa disebabkan banyak faktor, Bu. Tapi, memang kebanyakan karena kondisi kandungan yang lemah. Ibu nggak perlu menyalahkan diri sendiri, mungkin memang bawaan dari kandungannya aja."

Wanita itu masih berusaha mendengarkan penjelasan dokter, tanpa berkomentar apa-apa.

"Maaf, Bu. Saya siapkan ruangan operasinya dulu. Prosesnya nggak akan sakit, karena Ibu akan dibius total," sambung dokter itu lagi.

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang