Kaki pria itu bergoyang-goyang gelisah, sementara menunggu seseorang mengangkat teleponnya. Satu panggilan tidak dijawab. Ia menekan tombol untuk menelepon kembali. Kali ini panggilan tersebut ditolak. Rai berdecak kesal, kemudian ia mengetik di ruang obrolannya dengan Davian.
Rai
Kenapa di-reject?Dibaca, tetapi tak ada balasan.
Lo ngomong apaan ke cici gue?
Masih dibaca, masih tidak dijawab.
Cici koma
Tidak dibaca. Jangankan dibaca, terkirim pun tidak. Sekali lagi, Rai menghubungi Davian. Namun, sepertinya tidak sampai ke penerima.
Bangsat! Rai mengumpat sambil meninju kepada udara. Jelas dirinya diblokir oleh Davian. Rai menghela napas dengan kasar. Ia bangkit berdiri, berbalik badan ke arah jendela kaca besar. Pandangannya berubah keruh ketika melihat Nadia berada di dalam, tidur nyenyak, dengan alat bantu pernapasan.
Menurut diagnosa dokter, wanita itu minum obat penenang dengan dosis yang terlalu banyak. Rai sempat kehilangan kata-kata saat dokter berkata demikian. Sejak kapan Nadia butuh obat penenang? Bukankah selama ini wanita itu terlihat selalu tenang dalam menghadapi apapun? Mengapa ia harus dibantu dengan obat-obatan? Lebih mengerikan lagi, mengapa obat tersebut diminum dengan dosis berlebih?
Yang Rai tahu, sebelum kejadian ini, Nadia habis berbicara dengan Davian yang saat itu juga tampak kalut. Ia yakin keadaan Nadia, ada hubungannya dengan Davian. Namun, pria itu tampak tidak peduli sama sekali, bahkan membatasi akses Rai untuk menghubunginya.
Rai mengusap wajah lelahnya karena semalaman berada di sini, tidak bisa tidur sebelum melihat Nadia membuka mata. Dalam hati, tak henti-hentinya ia memanjatkan doa. Seluruh anggota keluarganya telah tiada. Hanya Nadia yang ia punya sekarang. Maka, ia memohon pada Tuhan, untuk tidak mengambil kakak satu-satunya juga saat ini.
Terdengar langkah kaki yang berlari kecil ke arahnya. Rai menoleh. Ketika dilihatnya Ellen di sana, seluruh perasaan dan emosinya meluap begitu saja. Segera ia memeluk Ellen erat, menumpahkan kesedihan yang ditahannya sejak berjam-jam. Tangan Ellen mengusap punggung Rai dengan penuh sayang, berusaha menenangkan.
“Aku gagal jaga Cici,” gumam Rai lirih.
Ellen melepaskan pelukan. Kedua tangannya kini menangkup wajah Rai dengan lembut. Ia seka air mata pria itu. “Kamu bilang, Cici orang yang kuat. Dia bisa menjaga keluarga kalian, dia juga pasti melewati masa kritis ini. Yang penting, kamu selalu ada di sampingnya.”
Sambil sesekali menyedot cairan di hidungnya, Rai berkata dengan terbata-bata, “Harusnya dari dulu… aku di sampingnya. Pasti Cici ngelewatin hal yang nggak gampang sampe… jadi kayak gini.”
Hati Ellen terenyuh dengan kehancuran yang tergambar jelas pada wajah kekasihnya. Rasanya, tidak ada kata-kata yang bisa membuat keadaan jadi lebih baik. Ia hanya membawa kembali Rai dalam pelukannya. Membiarkan pria itu menangis tersedu-sedu sampai hatinya sedikit lega.
***
Tidak hanya Rai, Davian juga memblokir teman-teman lainnya, Mario dan Ronald. Sebelum Rai berinisiatif menyuruh dua orang itu untuk ikut menerornya, lebih baik ia mengambil langkah pencegahan terlebih dahulu.
Ia sedang tidak ingin membicarakan tentang Nadia saat ini. Butuh waktu untuk kembali menata hatinya yang sekarang telah berbentuk kepingan. Lagipula, pagi ini Davian sedang mengikuti rapat bersama seluruh kepala divisi, jadi ia memang tidak bisa diganggu.
Jemari Davian menggulirkan layar tablet, membaca laporan dengan cepat, sementara seseorang sedang mempresentasikan laporan. Kening pria itu berkerut sebelum ia mendecakkan lidah. Entah mengapa laporan yang dikirimkan kali ini sama sekali tidak memuaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts Intertwined [END]
Ficción General[RomansaIndonesia's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2024] Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil warisan orang tuanya adalah kegiatan seorang Nadia Harianto sehari-h...