Hari ulang tahun tidak pernah menjadi hal yang istimewa bagi Davian. Meskipun karyawan dan beberapa kolega memberikan ucapan selamat, kue, hadiah, dan sebagainya, tetapi hari ini tetap saja seperti hari biasa.
Seharusnya, perusahaan memberikan kompensasi kepada Davian dengan memotong sebagian pekerjaannya khusus di hari ulang tahun. Restoran saja sering memberikan potongan harga bagi yang berulang tahun, kenapa kantornya tidak? Apa ia buat saja kebijakan itu untuk dirinya sendiri? Lagipula, ia direkturnya.
Sungguh, otak Davian tidak bisa lagi bekerja dengan benar ketika seharian sudah diperas habis-habisan. Makanya ia memikirkan hal-hal melantur seperti itu.
Davian melempar tas kerja dan jasnya secara sembarang di atas sofa. Melepaskan kaos kaki, dasi, serta dua kancing atas kemeja putihnya. Ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air, lalu meneguk sampai habis. Setelah itu, ia memutuskan untuk segera mandi agar pikirannya lebih segar. Minimal, ia bisa berpikir makanan apa yang bisa mengisi perut malam ini.
Namun, belum sampai ke kamar, bel berbunyi. Kali ini, siapa lagi yang ingin mengirimkan hadiah sampai ke apartemen?
Setelah melirik layar interkom dengan alis terangkat karena melihat dua orang di sana, Davian membuka pintu.
"Happy birthday, Bro!" seru Rai heboh sambil merentangkan tangan yang penuh tentengan. Kemudian ia merangkul Davian sampai tubuh pria itu sedikit terdorong ke dalam.
"Happy birthday, Dav." Kali ini, Ellen yang memberi selamat, sambil menutup pintu.
"Thank you, thank you," Davian balas menepuk bahu Rai, dan menoleh kepada Ellen sekilas. "Omong-omong, tumben lo inget ultah gue, sampe dateng ke sini lagi."
"Oh, ya inget dong. Orang gue dibayar."
Davian mengernyitkan dahi tidak mengerti.
Ellen mengangkat sebuah kantong di tangannya. "Ini semua nyokap lo yang pesen. Kangen masakan Cici nih, ye," goda wanita itu.
"Oh, jadi lo baru inget ultah gue kalo dapet duit doang? Bangke lo," semprotnya pada Rai, sedikit kesal karena yang datang hanya masakannya, bukan Nadia sendiri.
Sambil meletakkan bawaan di atas meja makan, Rai berkata, "Udah nggak usah protes. Yang penting lo makan enak nih malem ini."
Sementara itu, Ellen menjelajahi lemari dapur untuk menemukan piring dan alat makan.
Indra penciuman Davian mulai dimanjakan aroma makanan yang sedap, sebelum ia menyadari sesuatu. "Banyak banget buset." Mata pria itu membelalak ketika makanan sedang disajikan Ellen dengan cepat. "Kenyang nih kita malem ini."
"Bukan kita. Buat lo doang ini, biar puas," cetus Ellen tanpa menghentikan pekerjaannya.
"Gimana caranya gue ngabisin ini sendirian?"
Lantas, ketika Ellen hampir selesai, Rai mengulangi pertanyaan Davian, "Jadi, nggak bisa nih abisin sendirian?"
"Ya, nggak lah," balas pria itu cepat.
"Nah, kebetulan, gue bawa orang buat temenin lo makan malem. Sebentar." Tanpa menunggu persetujuan siapapun, Rai melesat pergi ke arah pintu.
Sementara Davian berbisik pada Ellen yang ada di dekatnya dengan nada curiga, "Siapa?" Namun, wanita itu hanya tersenyum sambil mengangkat bahu.
Ah, pasti pasangan ini sedang menyiapkan rencana aneh-aneh. Untuk memastikan, Davian segera berlari kecil menyusul Rai keluar.
Saat itu, Ellen mengeluarkan sebotol white wine yang telah dibawa, menuangkan ke dua gelas, kemudian menatanya di countertop, bersama dua buah lilin kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hearts Intertwined [END]
General Fiction[RomansaIndonesia's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF NOVEMBER 2024] Bangun pagi, pergi ke pasar, mencuci sayuran, memotong daging, memasak, dan menjajakan makanan di kedai kecil warisan orang tuanya adalah kegiatan seorang Nadia Harianto sehari-h...