49. Rasa Bersalah Semakin Dalam

1.3K 104 19
                                    

Vote-nya boleh kakak?~😚
.
.
.

Alden meninggal dunia. Pria itu sudah mengembuskan napas terakhir, bahkan saat ia belum sampai ke rumah sakit. Begitu kira-kira yang disampaikan Davian pada Nadia dengan terbata, setelah mendapat kabar melalui telepon.

Saat ini mereka berdua sedang berada di kantor polisi untuk mengawal tindak lanjut dari perbuatan Linda, yang resmi dianggap membunuh anak sendiri. Sedangkan di rumah sakit, Alden diurus oleh Alice, dibantu oleh Meita.

Saling menggenggam, Nadia memandang Davian penuh iba, sementara kedua matanya sendiri sudah sembap. Nadia cukup terpukul oleh kenyataan Alden telah tiada. Namun, sepertinya Davian merasakan yang jauh lebih dalam.

Mata yang sempat berkaca-kaca itu tidak luput dari perhatian Nadia. Benar, dua pria itu sering berselisih paham, adu mulut, tetapi juga mendukung satu sama lain dalam pekerjaan. Meskipun tidak pernah mengakui, Nadia bisa mengerti bahwa jauh di dalam hati Davian, ia juga punya rasa sayang pada saudaranya.

Beberapa saat lalu, Davian dan Nadia dimintai keterangan perihal kejadian hari ini sebagai saksi mata. Sekarang, giliran Linda, si pelaku yang diinterogasi, dan mereka sedang menunggu hasilnya.

Tak lama kemudian, Wahyu, sang penyelidik keluar dari ruangan dan mendatangi mereka. Keduanya langsung bangkit berdiri.

"Ibu Linda mengakui semuanya, Pak. Pembunuhan yang melibatkan anak kandungnya sendiri, juga dalang dari kasus kebakaran di daerah pertokoan lama."

Linda terbukti bersalah dan akan segera dijatuhi hukuman. Tanpa kentara, Davian menghela napas lega.

"Lalu, dia bilang, masih ada satu pengakuan lagi. Tapi, dia ingin bicara pada Bu Nadia." Wahyu melirik Nadia yang tersentak dan bertukar pandang dengan Davian.

"Masuk aja, Bu, nggak perlu takut. Ibu Linda dalam keadaan terborgol tangannya. Di dalam ada petugas yang berjaga. Saya akan mengawasi juga lewat kamera CCTV. Semua pembicaraan akan terekam."

"Baik, Pak." Wanita itu mengangguk ragu.

"Mau saya temenin?" tanya Davian yang membuat Nadia diam sesaat, berpikir, sebelum akhirnya mengangguk lagi.

Mereka berdua masuk ke dalam ruangan tempat Linda sudah menunggu. Nadia duduk di hadapan wanita itu dengan tatapan dingin. Davian berdiri di sebelahnya, mengira-ngira ulah apa lagi yang akan dilemparkan Linda pada Nadia.

"Seneng kamu? Seharusnya yang meninggal itu kamu, bukan anak saya." Linda memandang Nadia lurus-lurus. Bisa ditebak bahwa wanita itu juga habis menangis dari kedua mata yang merah.

"Terus, apa saya harus minta maaf?" balas Nadia tak gentar.

Emosi Linda mulai tersulut, tetapi tetap ia kontrol. "Kamu sadar nggak sih? Kamu selalu jadi penyebab semua kekacauan?"

Dengkusan tak sabar dari Davian, sama tidak digubris Linda yang tetap melanjutkan kalimatnya pada Nadia, "Kamu pasti nggak tau 'kan penyebab papa kamu meninggal?"

Tubuh Nadia sontak menegang mendengar papanya disebut-sebut. Ia bisa melihat Linda mengulas senyum tipis sebelum berkata, "Betul, kamu penyebabnya. Papa kamu udah tau semuanya."

Davian meletakkan tangan di pundak Nadia, "Jangan dengerin dia, Nad! Dia pasti bohong."

Senyum Linda semakin merekah melihat ekspresi Nadia yang tercengang. "Jangan bilang saya nggak pernah ingetin kamu, ya. Saya udah bilang, sekali lagi kamu ketemu Alden, saya akan ganggu orang-orang yang kamu sayang."

Debaran jantung Nadia terlalu kencang, seolah menelan seluruh pita suaranya. Dalam hati, masih ada secuil rasa tidak percaya bahwa Linda melakukan itu semua. Namun, apa yang dituturkan Linda barusan, membuat Nadia kini bisa menilai situasinya dengan jelas. Sebab hari di mana ia bertemu Alden, adalah hari di mana ia mendapat kabar bahwa Indra meninggal dunia karena serangan jantung.

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang